Pemanfaatan Limbah Industri Pangan untuk Produksi Biohythane

Review Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)

Limbah pangan (food waste – FW) adalah salah satu tantangan terbesar dalam industri pangan, yang tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga mencerminkan inefisiensi dalam sistem produksi pangan global. Artikel ini membahas pemanfaatan limbah dari enam sektor pengolahan pangan untuk produksi biofuel melalui fermentasi gelap dan pencernaan anaerobik, dengan fokus pada produksi hidrogen dan metana. Sebagai Dosen Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, saya menilai bahwa teknologi ini memiliki potensi besar dalam mendukung circular bio-economy dan memanfaatkan limbah sebagai sumber energi yang terbarukan.

Tantangan dalam Pemanfaatan Limbah Pengolahan Pangan

Limbah pengolahan pangan (FPW) yang berasal dari berbagai sektor seperti minyak, buah dan sayur, produk susu, industri bir, ternak, dan pertanian, memiliki karakteristik yang berbeda-beda, yang memengaruhi proses pengolahan dan produksi energi terbarukan. Setiap jenis limbah memiliki komposisi kimia yang unik, yang memberikan tantangan tersendiri dalam pengolahan biofuel.

Sebagai contoh, limbah pengolahan minyak, buah, dan sayur mengandung polifenol dan minyak esensial yang dapat menghambat produksi hidrogen dan metana. Senyawa-senyawa ini bersifat toksik terhadap mikroorganisme yang diperlukan dalam proses fermentasi dan pencernaan anaerobik. Selain itu, limbah dari industri produk susu, bir, dan peternakan memiliki tingkat protein yang tinggi, yang menghasilkan ammonia berlebih dan penumpukan asam lemak volatil (VFA). Kondisi ini dapat menyebabkan pengasaman (acidification) reaktor dan mengganggu keseimbangan mikrobiologi dalam proses fermentasi.

Produksi Biohythane: Potensi dan Tantangan

Salah satu sorotan utama dari artikel ini adalah produksi biohythane, campuran hidrogen (H₂) dan metana (CH₄), melalui pengolahan limbah pangan. Biohythane dianggap sebagai salah satu biofuel yang lebih unggul karena efisiensi energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan biogas konvensional. Namun, produksi biohythane menghadapi tantangan teknis yang signifikan, terutama dalam hal pengelolaan feedstock yang berbeda karakteristiknya, dan pengaturan kondisi operasional yang optimal untuk fermentasi gelap dan pencernaan anaerobik.

Proses fermentasi gelap digunakan untuk memproduksi hidrogen, sementara pencernaan anaerobik memproduksi metana. Agar kedua proses ini dapat berjalan secara sinergis, parameter operasional seperti pH, suhu, waktu retensi, dan komposisi bahan baku harus diatur dengan sangat hati-hati. Artikel ini menyoroti bahwa beberapa jenis limbah pangan, seperti limbah buah dan sayur, membutuhkan pra-pemrosesan (pre-treatment) untuk mengurangi pengaruh senyawa toksik seperti polifenol.

Metode Peningkatan: Pretreatment dan Co-Digestion

Salah satu cara yang diusulkan untuk mengatasi tantangan dalam pengolahan limbah pangan adalah melalui metode pretreatment dan co-digestion. Pretreatment bertujuan untuk memecah komponen organik yang lebih kompleks sehingga lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme. Beberapa teknik pretreatment yang umum digunakan termasuk hidrolisis termal, kimia, atau enzimatik.

Selain itu, co-digestion atau penggabungan berbagai jenis limbah pangan dalam satu reaktor telah terbukti dapat meningkatkan efisiensi produksi biohythane. Misalnya, mencampur limbah berprotein tinggi dengan limbah yang kaya karbohidrat dapat membantu menyeimbangkan kadar ammonia dan asam lemak volatil dalam reaktor, sehingga mencegah pengasaman dan menjaga stabilitas proses.

Penerapan teknologi ini memberikan peluang besar bagi industri pengolahan pangan untuk mengubah limbah mereka menjadi sumber energi yang berguna, sambil mengurangi dampak lingkungan. Namun, keberhasilan proses ini sangat bergantung pada pemahaman yang mendalam tentang komposisi limbah dan kondisi operasi yang optimal.

Peran Limbah Pangan dalam Circular Bio-Economy

Artikel ini juga menyoroti pentingnya limbah pangan dalam konsep circular bio-economy. Dalam sistem ekonomi melingkar, limbah dianggap sebagai sumber daya yang berharga daripada bahan yang harus dibuang. Dengan memanfaatkan limbah pangan untuk produksi biohythane, industri dapat berkontribusi pada sistem energi yang lebih berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Selain itu, residu dari proses fermentasi dan pencernaan anaerobik dapat digunakan sebagai pupuk organik, memberikan manfaat tambahan bagi sektor pertanian. Dengan demikian, tidak hanya energi yang dihasilkan dari limbah, tetapi juga nutrisi yang dikembalikan ke tanah, menciptakan siklus yang tertutup dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, artikel ini memberikan wawasan yang mendalam tentang tantangan dan peluang dalam pengolahan limbah pangan untuk produksi biohythane. Sebagai seorang Dosen Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, saya melihat bahwa teknologi ini memiliki potensi besar dalam mendukung transisi menuju sistem energi terbarukan yang lebih berkelanjutan dan efisien.

Namun, untuk mengoptimalkan proses ini, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi tantangan teknis, terutama terkait dengan komposisi feedstock dan stabilitas operasional reaktor. Pengembangan metode pretreatment yang lebih efisien dan penerapan co-digestion yang tepat dapat menjadi kunci untuk meningkatkan produksi biohythane dari limbah pangan.

Selain itu, penting untuk menciptakan sinergi antara sektor industri pangan, energi, dan pertanian dalam mendukung implementasi teknologi ini dalam skala yang lebih luas. Dengan demikian, konsep circular bio-economy dapat terealisasi secara efektif, di mana limbah diubah menjadi sumber daya yang bernilai, mendukung keberlanjutan energi dan lingkungan di masa depan.

Written by 

Teknologia managed by CV Teknologia (Teknologia Group) is a publisher of books and scientific journals with both national and international reach.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *