Teknologi Cetak 3D dalam Pangan: Revolusi Personalised Nutrition dan Upaya Pengurangan Limbah Pangan

Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)

Teknologi cetak tiga dimensi (3D) semakin mendapat perhatian di berbagai bidang, termasuk dalam industri pangan. Teknologi ini memungkinkan pengolahan pangan dengan pendekatan yang lebih presisi, tidak hanya dari segi sifat sensori tetapi juga komposisi nutrisi yang disesuaikan. Cetak 3D pangan (3D food printing atau 3DFP) menghadirkan inovasi dalam personalisasi nutrisi yang dapat menjadi solusi dalam mengatasi berbagai tantangan global, termasuk pengurangan limbah pangan melalui penggunaan bahan yang lebih berkelanjutan. Dalam konteks ini, teknologi cetak 3D diharapkan mampu mengoptimalkan penggunaan produk samping agro-industri dengan cara memulihkan dan menginkorporasi nutrisi yang berguna ke dalam produk pangan cetak.

Dalam personalisasi nutrisi, teknologi 3DFP memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan diet khusus. Ini sangat penting mengingat peningkatan prevalensi penyakit tidak menular seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung. Melalui teknologi ini, produk pangan dapat dirancang dengan kandungan fungsional tertentu seperti protein, antioksidan, fitonutrien, hingga probiotik yang dapat mencegah penyakit-penyakit tersebut. Dengan kata lain, 3DFP memungkinkan pengembangan produk pangan fungsional yang dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan individu, baik untuk menjaga kesehatan maupun mendukung proses penyembuhan penyakit.

Salah satu tantangan utama dalam implementasi 3DFP adalah pada tekstur dan struktur produk akhir. Pangan yang dicetak harus memiliki daya tarik sensori yang dapat diterima oleh konsumen. Untuk mencapai hal tersebut, bahan pengikat, pewarna, dan agen penguat sering digunakan dalam formulasi produk cetak. Selain itu, teknologi ini juga memungkinkan manipulasi tekstur dan struktur produk secara lebih fleksibel, yang penting dalam pengembangan pangan fungsional untuk kelompok usia tertentu, seperti lansia yang membutuhkan tekstur makanan yang lebih lembut.

Di sisi lain, teknologi ini juga diharapkan dapat membantu mengurangi limbah pangan. Dengan meningkatkan parameter proses dan memanfaatkan bahan yang biasanya terbuang dari industri agro, seperti serat atau protein dari produk samping pertanian, kita dapat menciptakan produk pangan yang lebih ramah lingkungan. Ini sejalan dengan konsep ekonomi sirkular, di mana limbah pangan dapat dimanfaatkan kembali untuk menciptakan produk baru yang bernilai tambah.

Namun, untuk mencapai penerimaan konsumen yang lebih luas, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi. Konsumen umumnya mengaitkan pangan dengan proses alami, sehingga produk yang diproses secara teknologi tinggi seperti cetak 3D mungkin memerlukan pendekatan pemasaran yang tepat untuk meningkatkan kepercayaan dan pemahaman. Aspek keamanan pangan dan stabilitas nutrisi selama proses pencetakan juga harus menjadi prioritas utama dalam pengembangan teknologi ini.

Secara keseluruhan, teknologi cetak 3D dalam pangan menawarkan potensi revolusioner bagi industri pangan, terutama dalam hal personalisasi nutrisi dan pengurangan limbah pangan. Untuk masa depan, dengan semakin berkembangnya teknologi ini, kita dapat berharap akan adanya produk pangan yang tidak hanya menyehatkan dan fungsional tetapi juga diproduksi dengan cara yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Tantangan yang ada perlu diatasi melalui riset yang lebih mendalam dan kolaborasi lintas bidang, termasuk teknologi pangan, kesehatan, dan keberlanjutan.

Dengan segala potensinya, 3D food printing akan menjadi alat penting dalam mewujudkan masa depan pangan yang lebih cerdas, sehat, dan berkelanjutan.

Written by 

Teknologia managed by CV Teknologia (Teknologia Group) is a publisher of books and scientific journals with both national and international reach.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *