Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Meskipun mekanisme fisiologis yang mengatur sekresi air liur telah banyak dipelajari, dampak penyakit terhadap fungsi kelenjar ludah serta perubahan dalam komposisi dan fungsi air liur masih kurang dipahami. Dalam ulasan ini, kita akan menjelajahi bagaimana penyakit dapat memengaruhi kelenjar ludah, yang berkontribusi terhadap kesehatan mulut secara keseluruhan. Sekresi air liur sangat bergantung pada rangsangan yang dimediasi saraf, yang mengaktifkan mekanisme sekresi cairan dan protein di kelenjar ludah.
Volume air liur yang disekresikan oleh kelenjar ludah dipengaruhi oleh frekuensi dan intensitas rangsangan saraf. Rangsangan ini meningkat secara dramatis saat mengonsumsi makanan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam sistem saraf pusat yang bersifat fasilitatif atau inhibitor. Perubahan jangka panjang dalam sekresi air liur dapat terjadi akibat perubahan pola makan dan penuaan, yang selanjutnya dapat mengubah komposisi dan fungsi air liur di mulut.
Disfungsi kelenjar ludah sering kali terkait dengan berbagai penyakit, seperti sindrom Sjögren, sialadenitis, dan penyakit iatrogenik akibat radioterapi atau penggunaan obat-obatan. Biasanya, disfungsi ini dilaporkan sebagai kehilangan volume sekresi yang dapat bervariasi dalam tingkat keparahannya. Penilaian disfungsi kelenjar ludah dengan mengukur laju aliran air liur dapat menjadi tantangan karena variabilitas yang besar dalam populasi sehat.
Salah satu kelebihan penelitian air liur adalah kemampuannya untuk diambil secara non-invasif dan berulang, yang memungkinkan studi longitudinal pada subjek. Hal ini memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai perubahan fungsi kelenjar ludah seiring waktu. Penggunaan teknologi omik telah mengungkapkan perubahan komposisi air liur dalam banyak penyakit sistemik, menawarkan potensi biomarker penyakit, meskipun perubahan komposisi ini mungkin tidak selalu terkait langsung dengan disfungsi kelenjar ludah.
Dalam konteks sindrom Sjögren, terdapat perubahan dalam reologi air liur akibat modifikasi glikosilasi mukin, yang dapat memengaruhi sifat fisik air liur. Analisis air liur yang dihasilkan dari kelenjar ludah dalam kondisi penyakit atau intervensi terapeutik yang menyebabkan peradangan kelenjar ludah sering menunjukkan peningkatan konsentrasi elektrolit dan peningkatan keberadaan protein imun bawaan, terutama lactoferrin, yang menunjukkan respons imun tubuh.
Selanjutnya, pengubahan sinyal yang dimediasi saraf dalam sekresi kelenjar ludah dapat berkontribusi pada disfungsi yang diinduksi oleh obat-obatan. Ini juga dapat mempengaruhi komposisi air liur pada penyakit neurodegeneratif, di mana perubahan dalam pola sekresi dapat berdampak pada kesehatan mulut. Oleh karena itu, penting untuk memahami interaksi kompleks antara faktor fisiologis, patologis, dan terapi yang mempengaruhi fungsi kelenjar ludah.
Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan antara penyakit dan fungsi kelenjar ludah, kita dapat mengembangkan pendekatan terapeutik yang lebih efektif untuk mengatasi disfungsi kelenjar ludah. Penelitian lebih lanjut dalam bidang ini tidak hanya dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dengan gangguan kelenjar ludah, tetapi juga meningkatkan pemahaman kita tentang pentingnya saliva dalam kesehatan oral secara keseluruhan.