Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Biomassa residual kini diakui sebagai bahan baku berkelanjutan yang sangat potensial dalam transisi menuju ekonomi sirkular dan rendah karbon fosil. Bahan ini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi, bahan kimia, material, hingga produk pangan. Fokus pada pengolahan biomassa residual menjadi bahan pangan semakin mendapat perhatian, terutama karena upaya untuk mengurangi ketergantungan pada lahan pertanian dalam memenuhi kebutuhan gizi manusia. Penelitian terbaru meninjau lebih dari 950 catatan ilmiah dan industri terkait jalur pengolahan limbah menjadi bahan pangan, mencakup lebih dari 150 jenis biomassa yang dikelompokkan ke dalam 10 kategori utama, termasuk limbah kayu, residu tanaman utama, pupuk kandang, limbah makanan, dan lainnya.
Setiap kategori biomassa residual memiliki potensi tersendiri dalam konversi menjadi bahan pangan yang layak konsumsi. Proses-proses yang terlibat dalam pengolahan biomassa ini mencakup beberapa teknik seperti peningkatan nilai nutrisi, pemecahan struktur biomassa, ekstraksi, dan biokonversi. Pemanfaatan limbah kayu dan residu tanaman, misalnya, dapat melibatkan proses lignoselulosa yang memanfaatkan komponen serat kayu sebagai sumber protein atau zat gizi lainnya melalui proses fermentasi atau biokonversi. Teknologi ini tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga menciptakan sumber pangan alternatif yang berkelanjutan.
Penelitian ini juga mengidentifikasi empat blok dasar yang menjadi pola umum dalam proses konversi biomassa menjadi bahan pangan, yaitu peningkatan kandungan nutrisi, pemecahan struktur kompleks, ekstraksi komponen bernilai, dan biokonversi melalui mikroorganisme atau enzim. Proses-proses ini dirancang untuk memaksimalkan pemanfaatan biomassa residual sambil meminimalkan pemborosan sumber daya. Selain itu, penelitian ini mengevaluasi kelayakan biomassa residual sebagai sumber pangan berdasarkan tiga faktor utama: kandungan senyawa anti-nutrisi, kompleksitas struktur biomassa, dan konsentrasi makro serta mikronutrien.
Salah satu inovasi menarik yang dikemukakan adalah pendekatan “biorefinery” yang terbagi dalam delapan kategori besar. Contohnya adalah biorefinery serangga, yang menggunakan serangga untuk mengolah biomassa menjadi protein berkualitas tinggi. Selain itu, ada juga biorefinery hijau yang memanfaatkan biomassa hijau seperti rumput atau daun, serta biorefinery lignoselulosa yang memanfaatkan residu kayu. Pendekatan ini menciptakan jalur pemrosesan limbah yang efisien, memastikan bahwa setiap bagian biomassa residual dapat diubah menjadi produk bergizi yang bermanfaat.
Pendekatan pengolahan biomassa residual menjadi bahan pangan tidak hanya menawarkan solusi terhadap masalah limbah, tetapi juga memiliki dampak positif terhadap ketahanan pangan global. Dengan semakin terbatasnya lahan pertanian, metode ini membantu mengurangi tekanan pada sumber daya alam sambil tetap menyediakan alternatif gizi yang berkualitas. Produk yang dihasilkan dari limbah ini, seperti protein serangga atau bahan pangan berbasis lignoselulosa, dapat menjadi bagian penting dari sistem pangan masa depan.
Secara keseluruhan, inovasi pemanfaatan biomassa residual sebagai bahan pangan membuka peluang besar bagi industri pangan untuk berkontribusi dalam mewujudkan ekonomi sirkular yang berkelanjutan. Melalui kerangka kerja yang diusulkan, para peneliti dan pelaku industri dapat merancang strategi yang lebih efektif dalam memanfaatkan limbah dan mengoptimalkan penggunaannya dalam sistem pangan. Ini adalah langkah penting menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.