Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Perkembangan teknologi cetak 3D dalam industri pangan semakin pesat, dan salah satu inovasi terbarunya adalah penggunaan bahan berbasis protein hewani sebagai “food inks” untuk memproduksi berbagai produk pangan dengan bentuk dan tekstur yang dapat disesuaikan. Ulasan ini menyoroti bagaimana sifat-sifat bahan cetak tersebut, seperti mikrostruktur, sifat reologis, tekstur, dan warna, mempengaruhi hasil cetakan 3D. Selain itu, tinjauan ini juga mengeksplorasi potensi penggunaan teknologi cetak 3D dalam menciptakan makanan khusus bagi orang-orang dengan kebutuhan diet khusus, seperti penderita disfagia atau pasien geriatrik, serta kemungkinan pengembangan produk berbasis daging kultur (cultured meat).
Salah satu temuan penting adalah bahwa cetak 3D memberikan fleksibilitas luar biasa dalam menciptakan bentuk, tekstur, dan rasa produk pangan. Ini membuka peluang baru bagi pengembangan struktur pangan berbasis protein hewani yang dirancang secara khusus sesuai kebutuhan nutrisi konsumen. Meski demikian, ada tantangan terkait penurunan ukuran partikel daging dan dilusi rasa daging yang gurih pada produk premium. Meskipun ini mungkin menurunkan nilai pada produk daging premium, teknologi ini menawarkan potensi besar untuk memanfaatkan potongan daging dengan nilai lebih rendah atau bagian trimmings yang biasanya kurang diminati pasar.
Salah satu aplikasi menarik dari teknologi ini adalah pengembangan produk untuk diet khusus, seperti makanan bagi pasien disfagia yang memerlukan makanan bertekstur lembut namun tetap bergizi. Beberapa studi telah menunjukkan keberhasilan dalam menciptakan produk berbasis protein hewani untuk diet ini, termasuk penggunaan enzim transglutaminase untuk meningkatkan struktur produk berbasis ikan. Selain itu, produk keju dan telur dengan bentuk menarik dari hasil cetak 3D juga berpotensi menjadi segmen baru yang menarik bagi konsumen anak-anak atau untuk momen-momen khusus seperti perayaan atau hadiah pribadi.
Namun, tantangan terbesar terletak pada pengembangan produk berbasis daging kultur yang masih berada pada tahap konseptual. Penelitian di bidang ini sangat terbatas, dan penerimaan konsumen terhadap daging kultur hasil cetak 3D masih rendah, terutama di negara-negara Barat seperti Australia. Ini menunjukkan bahwa masih diperlukan banyak riset untuk meningkatkan pemahaman konsumen serta mengoptimalkan kualitas sensoris dan nutrisi produk berbasis daging kultur ini.
Teknologi cetak 3D memiliki potensi besar dalam meningkatkan efisiensi produksi dan kustomisasi produk pangan berbasis protein hewani, terutama untuk memenuhi kebutuhan nutrisi spesifik. Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap bagaimana proses cetak 3D mempengaruhi mikrostruktur makanan dan karakteristik sensorisnya. Memahami mekanisme tersebut akan sangat penting untuk memperluas penggunaan teknologi ini dalam industri pangan dan memastikan penerimaan konsumen yang lebih luas.
Secara keseluruhan, teknologi cetak 3D dalam industri pangan, khususnya untuk produk berbasis protein hewani, menawarkan potensi inovasi yang sangat besar. Pengembangan produk dengan nilai fungsional dan nutraseutikal yang unik bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen modern yang semakin peduli terhadap kesehatan. Ke depan, kolaborasi antara ilmuwan pangan, produsen, dan konsumen akan menjadi kunci dalam mendorong adopsi teknologi ini di pasar.