Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Bakteriofag, atau virus yang menyerang bakteri, adalah agen antimikroba yang sangat spesifik dan kuat. Penggunaannya dalam rantai produksi pangan menawarkan potensi besar dalam mengendalikan patogen penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan, seperti Listeria monocytogenes. Namun, satu kendala utama adalah bakteriofag seringkali rentan terhadap kondisi lingkungan yang keras dalam matriks pangan dan proses pengolahan, seperti suhu tinggi, pengeringan, dan pH rendah. Penelitian ini bertujuan mengatasi masalah tersebut dengan menyeleksi bakteriofag yang lebih tahan terhadap stres untuk meningkatkan aplikabilitasnya di industri pangan.
Dalam penelitian ini, bakteriofag Listeria monocytogenes P100 yang tersedia secara komersial dipaparkan pada tiga kondisi stres utama: pengeringan, suhu tinggi, dan pH rendah. Hasilnya, populasi bakteriofag mengalami penurunan infektivitas hingga 5,1 log10. Namun, subpopulasi yang bertahan menunjukkan ketahanan yang cukup baik melalui lima siklus paparan terhadap stres yang sama, dengan penurunan infektivitas maksimal hanya 2,0 log10. Temuan ini menunjukkan bahwa bakteriofag yang berhasil bertahan dari kondisi ekstrim mempertahankan sifat resisten mereka tanpa kehilangan kemampuan untuk melisiskan bakteri patogen secara efektif.
Meskipun proses seleksi stres berhasil menghasilkan populasi bakteriofag yang lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang keras, ada tantangan besar dalam hal penerapan di dunia nyata. Saat diuji pada permukaan baja tahan karat yang digunakan dalam produksi pangan, serta selama proses pasteurisasi susu dan di minuman asam, bakteriofag menunjukkan kehilangan titer yang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi laboratorium. Artinya, meskipun seleksi stres berhasil meningkatkan ketahanan bakteriofag dalam kondisi laboratorium, manfaatnya dalam skenario industri sebenarnya menjadi berkurang.
Mutasi genetik yang diidentifikasi dari bakteriofag yang diseleksi melalui paparan stres memberikan wawasan mengenai mekanisme resistensi mereka, meskipun mekanisme yang jelas belum terungkap sepenuhnya. Namun, penelitian ini tetap memberikan informasi penting mengenai adaptasi bakteriofag dan dampaknya terhadap penggunaannya di lapangan, khususnya dalam aplikasi komersial untuk pengendalian patogen pangan.
Kehadiran bakteriofag yang lebih tahan stres ini membuka peluang baru dalam penerapan teknologi biologis dalam rantai produksi pangan. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa adaptasi yang diperoleh di laboratorium dapat diterjemahkan ke dalam kondisi nyata di lapangan. Hal ini penting karena keberhasilan seleksi adaptasi bakteriofag di laboratorium tidak selalu menjamin kinerja optimal dalam skenario produksi pangan skala besar.
Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan potensi besar bakteriofag dalam mengendalikan patogen pangan. Namun, masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan penerapannya, terutama terkait dengan adaptasi mereka terhadap berbagai kondisi stres yang ditemukan dalam proses produksi pangan nyata. Inovasi lebih lanjut dalam teknik seleksi dan adaptasi bakteriofag dapat menjadi kunci untuk memaksimalkan manfaat antimikroba alami ini dalam meningkatkan keamanan pangan global.