Review Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Polusi udara, air, dan tanah yang disebabkan oleh aktivitas manusia terus menjadi masalah global yang mendesak. Dalam konteks ini, studi terbaru berfokus pada faktor-faktor yang memengaruhi kualitas lingkungan, dengan memperkenalkan pendekatan inovatif seperti faktor kapasitas beban (load capacity factor) dan hipotesis kurva kapasitas beban (load capability curve/LCC). Faktor kapasitas beban ini menggabungkan jejak ekologis dan biokapasitas untuk memantau kualitas lingkungan secara komprehensif. Hal ini memungkinkan para peneliti untuk mengevaluasi sejauh mana aktivitas manusia berkontribusi pada kerusakan lingkungan serta mencari solusi yang lebih efektif untuk keberlanjutan lingkungan.
Studi ini mengambil data dari tujuh negara maju yang tergabung dalam G7, yaitu Kanada, Jerman, Jepang, Inggris, Prancis, Italia, dan Amerika Serikat, untuk periode 1986 hingga 2017. Dengan menggunakan metode ekonometrika yang canggih, seperti Cross-Sectionally Augmented Autoregressive Distributed Lag Estimator dan Durbin-Haussman Cointegration Test, penelitian ini menganalisis bagaimana teknologi informasi dan komunikasi (ICT), pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan (R&D), konsumsi energi terbarukan, serta pendapatan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan. Hasil empiris menunjukkan bahwa energi terbarukan, investasi R&D, dan ICT memiliki dampak positif yang signifikan terhadap perbaikan kualitas lingkungan di negara-negara G7.
Salah satu temuan menarik dalam penelitian ini adalah adanya hubungan berbentuk U antara kualitas lingkungan dan pendapatan, yang menegaskan hipotesis kurva kapasitas beban (LCC). Pada pendapatan awal yang rendah, peningkatan ekonomi cenderung memperburuk kondisi lingkungan karena peningkatan emisi dan eksploitasi sumber daya alam. Namun, setelah mencapai ambang batas tertentu, peningkatan pendapatan justru berkontribusi pada perbaikan kualitas lingkungan. Dalam kasus negara-negara G7, ambang batas tersebut berada pada kisaran pendapatan sekitar US$ 46.660 hingga US$ 47.909. Di titik ini, negara-negara seperti Kanada, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat telah mencapai tingkat pendapatan yang cukup untuk membalikkan tren degradasi lingkungan dan mulai memperbaiki kualitasnya melalui kebijakan yang lebih berkelanjutan.
Penelitian ini juga menyoroti pentingnya peran energi terbarukan dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Konsumsi energi terbarukan terbukti memberikan kontribusi signifikan dalam menurunkan emisi karbon dan memperbaiki kualitas udara, air, dan tanah. Negara-negara G7 yang telah mengadopsi energi terbarukan secara lebih luas menunjukkan tren positif dalam kapasitas beban lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan agar pemerintah terus mempromosikan penggunaan energi terbarukan sebagai pilar utama dalam strategi lingkungan mereka.
Selain itu, pengeluaran R&D juga memainkan peran penting dalam mendorong inovasi teknologi yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Negara-negara yang meningkatkan investasi di bidang penelitian dan pengembangan teknologi ramah lingkungan, seperti ICT hijau, menunjukkan peningkatan dalam kualitas lingkungan. Teknologi yang lebih efisien dan berkelanjutan dapat mengurangi konsumsi energi, mengurangi limbah, dan meningkatkan efisiensi industri, sehingga memperbaiki kapasitas beban lingkungan.
Secara keseluruhan, studi ini menawarkan wawasan penting bagi negara-negara maju seperti G7 untuk mengadopsi kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Kebijakan tersebut meliputi promosi energi terbarukan, pengembangan infrastruktur teknologi hijau, serta peningkatan pengeluaran R&D di sektor-sektor yang memiliki dampak terbesar terhadap perbaikan lingkungan. Hanya dengan pendekatan ini, negara-negara tersebut dapat memastikan bahwa perkembangan ekonomi berjalan seiring dengan pelestarian lingkungan, menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan untuk generasi mendatang.