Review Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Dalam era modern yang semakin mengedepankan keberlanjutan, teknologi energi terbarukan menjadi fokus utama dalam upaya mencapai netralitas karbon. Salah satu inovasi yang menarik perhatian adalah sistem pendinginan radiatif (RC) yang terintegrasi dengan bangunan dan sistem fotovoltaik (PV). Kedua teknologi ini memiliki potensi untuk memanfaatkan sumber energi yang tersedia, yaitu energi dari luar angkasa dan sinar matahari. Namun, dengan terbatasnya area atap bangunan, penting untuk membandingkan potensi penghematan energi dan aspek ekonomi dari kedua sistem ini.
Studi ini melakukan analisis mendalam dengan membangun model termal untuk sistem RC dan PV yang dipasang di atap. Melalui simulasi, peneliti dapat mengukur suhu, fluks perpindahan panas, dan kinerja penghematan energi dari kedua sistem. Pendekatan ini tidak hanya memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana masing-masing sistem beroperasi, tetapi juga memungkinkan perbandingan yang lebih objektif antara penghematan energi yang dihasilkan oleh sistem RC dan produksi listrik dari sistem PV.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun sistem RC memiliki potensi penghematan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan sistem PV selama musim pendinginan di Beijing, China, aspek ekonomi dari sistem RC lebih menguntungkan. Dengan biaya setara penghematan listrik selama siklus hidup yang lebih rendah, yaitu 0.011perkilowatt−jamuntuksistemRCdibandingkandengan0.034 untuk sistem PV, ini menunjukkan bahwa RC dapat menjadi pilihan yang lebih ekonomis dalam konteks tertentu.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kapasitas pendinginan total dari atap RC lebih besar di wilayah barat dan selatan China, sementara potensi penghematan energi dari atap PV lebih tinggi di wilayah barat dan utara. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan teknologi yang tepat harus mempertimbangkan kondisi geografis dan iklim setempat, sehingga dapat memaksimalkan efisiensi energi yang dihasilkan.
Selain itu, penelitian ini juga mengeksplorasi pengaruh parameter meteorologis, kondisi dalam ruangan, karakteristik atap bangunan, dan sifat optik permukaan terhadap kinerja atap RC dan PV. Analisis parametrik menunjukkan bahwa atap RC sangat cocok untuk bangunan dengan permintaan disipasi panas yang tinggi dan struktur envelope yang ringan. Ini memberikan wawasan penting bagi perancang bangunan dan insinyur dalam merancang sistem yang lebih efisien.
Menariknya, hasil perhitungan menunjukkan bahwa hasil energi dari atap RC dapat bersaing dengan atap PV di stasiun basis telekomunikasi. Ini membuka peluang baru untuk penerapan teknologi RC di sektor-sektor yang membutuhkan pendinginan intensif, sekaligus memanfaatkan ruang atap yang terbatas.
Secara keseluruhan, studi ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman kita tentang potensi energi terbarukan yang terintegrasi dalam bangunan. Dengan memaksimalkan potensi penghematan energi dari atap bangunan yang terbatas, kita dapat berkontribusi pada pemanfaatan energi terbarukan yang lebih efisien dan berkelanjutan. Penelitian ini tidak hanya relevan bagi akademisi dan peneliti, tetapi juga bagi praktisi di bidang teknik sistem termal dan energi terbarukan yang ingin menerapkan solusi inovatif dalam desain bangunan masa depan.