Review Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Biomassa telah menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang paling penting dalam industri energi global. Dengan proyeksi bahwa pada tahun 2050, sekitar 33-50% dari kebutuhan energi dunia dapat dipenuhi melalui pembakaran biomassa, penting untuk memahami dampak dan potensi yang ditawarkan oleh sumber energi ini. Namun, seiring dengan meningkatnya penggunaan biomassa, produksi abu sebagai produk sampingan pembakaran juga meningkat secara signifikan, dengan estimasi mencapai sekitar 476 juta ton per tahun. Hal ini menimbulkan tantangan baru dalam pengelolaan limbah dan pemanfaatan sumber daya.
Salah satu aspek yang menarik dari biomassa adalah nilai kalorinya yang cukup tinggi, berkisar antara 18,5 MJ/kg hingga 19,5 MJ/kg untuk massa kayu kering. Namun, abu yang dihasilkan dari pembakaran biomassa memiliki kandungan abu yang bervariasi, antara 0,4% hingga 3,9% dari massa bahan bakar kering. Variabilitas ini disebabkan oleh perbedaan jenis biomassa dan teknologi pembakaran yang digunakan, sehingga karakterisasi abu biomassa menjadi tugas yang kompleks. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang komposisi kimia abu sangat penting untuk menentukan potensi pemanfaatannya.
Abu biomassa memiliki dua sisi yang kontras. Di satu sisi, abu ini mengandung nutrisi penting seperti kalsium (Ca), kalium (K), dan mikroelemen yang dapat berfungsi sebagai komponen pupuk yang berharga. Di sisi lain, abu ini juga dapat mengandung senyawa berbahaya seperti logam berat dan senyawa organik beracun, termasuk hidrokarbon aromatik polisiklik (PAHs) dan senyawa organik volatil (VOCs). Senyawa-senyawa ini umumnya terbentuk akibat pembakaran yang tidak sempurna, terutama dalam kondisi operasi yang tidak stabil pada boiler berdaya rendah.
Sebelum abu biomassa dapat digunakan dalam berbagai industri, seperti sintesis zeolit, pemulihan logam tanah jarang, atau produksi plastik, serangkaian analisis harus dilakukan. Pengujian ini meliputi analisis kandungan logam berat, klorida, sulfat, mikroelemen, makroelemen, serta komposisi butir dan fase. Hanya dengan memastikan bahwa abu tersebut memiliki tingkat pencemaran yang rendah, kita dapat mempertimbangkan penggunaannya dalam pertanian dan reklamasi lahan terdegradasi, alih-alih mengarahkannya ke tempat pembuangan akhir yang akan menghilangkan sifat berharga dari abu tersebut.
Di Indonesia, pemanfaatan abu biomassa masih tergolong rendah, meskipun potensi yang ada sangat besar. Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dan pengelolaan limbah, ada peluang untuk mengembangkan teknologi yang dapat mengolah abu biomassa menjadi produk yang bermanfaat. Misalnya, penggunaan abu sebagai bahan tambahan dalam material bangunan atau pupuk organik dapat membantu mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan efisiensi sumber daya.
Dalam konteks global, penelitian dan pengembangan mengenai pemanfaatan abu biomassa terus dilakukan. Berbagai negara telah mulai menerapkan kebijakan dan teknologi yang mendukung penggunaan kembali limbah ini. Oleh karena itu, penting bagi para peneliti, praktisi, dan pembuat kebijakan untuk bekerja sama dalam mengembangkan strategi yang efektif untuk memanfaatkan abu biomassa secara berkelanjutan.
Secara keseluruhan, pemanfaatan abu biomassa sebagai produk sampingan dari pembakaran tidak hanya memberikan solusi untuk pengelolaan limbah, tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan energi terbarukan. Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang yang menguntungkan bagi lingkungan dan industri, serta mendukung transisi menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.