Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Studi tentang biokimia pencernaan ikan sangat penting untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi transformasi makanan dan pertumbuhan, yang pada akhirnya berdampak pada profitabilitas akuakultur. Dalam konteks ini, penelitian terbaru meneliti aktivitas dan karakteristik fungsional enzim pencernaan utama pada ikan amberjack juvenil (Seriola dumerili), dengan fokus pada modulasi aktivitas enzim oleh suhu air sebagai faktor lingkungan. Penelitian ini memberikan wawasan mendalam yang dapat membantu optimalisasi praktik budidaya ikan secara industri.
Dalam penelitian ini, analisis biokimia dan substrate-SDS-PAGE digunakan untuk mengukur aktivitas enzim pencernaan pada amberjack. Hasil menunjukkan bahwa aktivitas pepsin pada kondisi fisiologis hampir tidak terdeteksi. Sebaliknya, enzim kimosin (chymotrypsin) adalah enzim paling aktif dalam saluran pencernaan ikan ini, sementara lipase menunjukkan aktivitas terendah. Meski begitu, lipase dan tripsin menunjukkan respons yang sensitif terhadap suhu air. Hal ini diungkapkan melalui analisis diskriminan yang menunjukkan adanya pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim pencernaan ikan.
Salah satu temuan utama adalah bahwa ikan Seriola dumerili memiliki protease yang sensitif terhadap pH, kecuali kimosin yang menunjukkan ketahanan termal yang tinggi. Uji inhibisi menunjukkan bahwa serin protease memainkan peran penting dalam pencernaan ikan ini. Penelitian juga menemukan bahwa ada respons berlawanan antara tripsin dan kimosin terhadap suhu lingkungan, di mana kontribusi tripsin lebih tinggi pada ikan yang dipelihara pada suhu 26°C, sedangkan kimosin lebih dominan pada suhu 18°C.
Lebih jauh, melalui zymogram, penelitian ini mengungkap keberadaan tiga isoform tripsin dan tiga isoform kimosin, tanpa variasi signifikan dalam kehadiran isoform tertentu pada suhu pemeliharaan yang berbeda. Namun, penelitian ini menegaskan peran kimosin dalam memberikan fleksibilitas pencernaan, di mana salah satu isoformnya lebih aktif pada suhu rendah. Hal ini menunjukkan bahwa variasi dalam kontribusi relatif isoenzim kimosin terhadap suhu lingkungan disebabkan oleh perbedaan sifat fisik-kimiawi isoform tersebut, yang memungkinkan fleksibilitas fungsional dalam menghadapi perubahan suhu.
Penelitian ini sangat penting karena untuk pertama kalinya mengkaji efek suhu pemeliharaan terhadap enzim pencernaan ikan amberjack juvenil. Temuan ini tidak hanya meningkatkan pemahaman tentang biokimia pencernaan ikan tersebut, tetapi juga memberikan wawasan yang sangat berharga untuk pengelolaan yang lebih baik dalam industri akuakultur, khususnya dalam pengaturan suhu yang optimal untuk pertumbuhan ikan dan efisiensi pakan yang lebih baik.
Secara keseluruhan, penelitian ini berkontribusi pada upaya industrialisasi amberjack dengan menawarkan strategi manajemen berbasis ilmiah untuk memaksimalkan potensi pertumbuhan ikan melalui optimasi kondisi lingkungan. Inovasi dalam memahami respons enzim pencernaan terhadap suhu tidak hanya mendukung efisiensi pakan, tetapi juga membantu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil akuakultur, yang pada akhirnya berkontribusi pada keberlanjutan industri perikanan global.