Review Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Torrefaksi merupakan teknologi pretreatment yang sangat penting dalam aplikasi biorefinery termokimia seperti pirolisis, gasifikasi, dan likuifikasi. Proses ini tidak hanya meningkatkan kualitas biomassa tetapi juga mempersiapkan bahan baku untuk proses konversi energi yang lebih efisien. Dalam konteks ini, torrefaksi oksidatif muncul sebagai versi yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan, menarik perhatian banyak peneliti dan praktisi di bidang energi terbarukan. Dengan memanfaatkan limbah pertanian, biomassa kayu, dan mikroalga, torrefaksi dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan sumber energi yang berkelanjutan.
Dalam kajian terbaru, parameter kinerja kritis dari torrefaksi untuk aplikasi biorefinery termokimia telah dianalisis. Beberapa parameter tersebut meliputi hasil padatan, hasil energi, peningkatan karbon, peningkatan nilai kalor tinggi (HHV), dan indeks co-benefit energi-massa (EMCI). Hasil analisis menunjukkan bahwa biomassa kayu dapat memperoleh manfaat yang sama baik dari torrefaksi oksidatif maupun inert. Namun, torrefaksi inert lebih cocok untuk limbah pertanian dan mikroalga, yang menunjukkan bahwa pemilihan metode torrefaksi harus disesuaikan dengan jenis biomassa yang digunakan.
Salah satu inovasi menarik dalam torrefaksi oksidatif adalah penggunaan gas buang sebagai medium torrefaksi. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efisiensi proses tetapi juga berkontribusi pada ekonomi sirkular, di mana limbah biomass dapat dimanfaatkan kembali. Dengan cara ini, keberlanjutan proses torrefaksi oksidatif untuk biorefinery termokimia dapat ditingkatkan, mengurangi dampak lingkungan dari proses konversi energi.
Namun, tantangan signifikan dalam torrefaksi oksidatif perlu diatasi. Konten abu yang tinggi dalam limbah pertanian yang tertorrefaksi, risiko thermal runaway oksidatif pada biomassa fibrous, kontrol suhu, dan skala-up reaktor adalah beberapa isu yang harus diperhatikan. Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa solusi telah diusulkan, seperti kombinasi pencucian dan pretreatment torrefaksi, penyeimbangan kandungan oksigen, suhu, dan waktu tinggal sesuai dengan jenis biomassa, serta recirculating gas torrefaksi.
Pentingnya penelitian lebih lanjut dalam bidang ini tidak dapat diabaikan. Dengan memahami lebih dalam tentang karakteristik dan perilaku berbagai jenis biomassa selama proses torrefaksi, kita dapat mengoptimalkan kondisi proses untuk mencapai hasil yang lebih baik. Penelitian ini juga dapat membuka jalan bagi pengembangan teknologi baru yang lebih efisien dan ramah lingkungan dalam konversi biomassa menjadi energi.
Sebagai dosen di bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, saya percaya bahwa kolaborasi antara akademisi, industri, dan pemerintah sangat penting untuk mendorong inovasi dalam teknologi torrefaksi. Dengan dukungan yang tepat, kita dapat mengatasi tantangan yang ada dan memanfaatkan potensi besar biomassa sebagai sumber energi terbarukan yang berkelanjutan.
Akhirnya, torrefaksi, baik yang bersifat inert maupun oksidatif, memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada transisi energi global menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Dengan penelitian dan pengembangan yang berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa teknologi ini tidak hanya efisien tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan dan ekonomi.