Inovasi Berkelanjutan: Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas dan Limbah Pertanian sebagai Sumber Energi Terbarukan

Review Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)

Dalam upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) dan menerapkan konsep zero-waste, penelitian terbaru telah mengeksplorasi potensi pemanfaatan minyak goreng bekas (WCO) yang dicampur dengan limbah pertanian seperti ampas singkong, sisa kedelai, dan ampas kelapa. Penelitian ini bertujuan untuk mengubah limbah tersebut menjadi bahan bakar biosolid, yaitu bahan bakar alkohol padat (SAF) dan briket lipid (LBF). Pendekatan ini tidak hanya berkontribusi pada pengurangan limbah, tetapi juga menciptakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan.

Proses awal dalam penelitian ini melibatkan perlakuan fisik terhadap WCO, diikuti dengan ekstraksi asam lemak bebas (FFA) menggunakan pelarut heksana melalui proses saponifikasi. Dengan kondisi pengadukan 250 rpm, suhu 30 °C, dan waktu 30 menit, SAF berhasil diproduksi. Sementara itu, untuk LBF, WCO digunakan langsung tanpa proses saponifikasi. Campuran dengan rasio 1:1 antara WCO/FFA dan natrium alkohol dicampurkan dengan ketiga limbah biomassa, kemudian dibentuk menjadi cetakan. Proses ini menunjukkan bagaimana limbah dapat diolah menjadi produk bernilai tambah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa SAF yang dihasilkan dari campuran dengan sisa kedelai memiliki nilai kalor yang lebih tinggi, yaitu 29.541 MJ/kg. Ini menunjukkan potensi SAF sebagai sumber energi yang efisien dan berkelanjutan. Di sisi lain, LBF yang dihasilkan dari ampas singkong, sisa kedelai, dan ampas kelapa menunjukkan waktu didih yang bervariasi, yaitu sekitar 288, 253, dan 260 detik, masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun SAF memiliki sifat termal yang lebih baik, LBF juga memiliki potensi yang signifikan sebagai sumber energi alternatif.

Dari segi performa, SAF dengan sisa kedelai mencapai waktu didih minimum 170 detik dan waktu pembakaran terpanjang selama 930 detik. Ini menunjukkan bahwa SAF tidak hanya lebih efisien dalam hal waktu, tetapi juga dalam hal daya tahan pembakaran. Keunggulan ini menjadikan SAF sebagai pilihan yang lebih menarik untuk aplikasi energi terbarukan, terutama dalam konteks kebutuhan energi yang terus meningkat.

Penting untuk dicatat bahwa karakteristik SAF dan LBF tidak hanya dipengaruhi oleh jenis limbah pertanian yang digunakan, tetapi juga oleh faktor-faktor seperti kepadatan, kelembapan, kandungan pengikat, dan metode pencetakan. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengoptimalkan proses produksi dan meningkatkan kualitas bahan bakar yang dihasilkan. Dengan memahami variabel-variabel ini, kita dapat mengembangkan metode yang lebih efisien dan ramah lingkungan dalam produksi energi.

Inovasi ini tidak hanya memberikan solusi untuk mengatasi masalah limbah, tetapi juga membuka peluang baru dalam pengembangan energi terbarukan. Dengan memanfaatkan limbah pertanian dan WCO, kita dapat mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil dan mengurangi dampak lingkungan dari limbah. Ini adalah langkah penting menuju keberlanjutan dan pengelolaan sumber daya yang lebih baik.

Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan WCO dan limbah pertanian sebagai sumber energi terbarukan adalah langkah yang menjanjikan. Dengan dukungan penelitian dan pengembangan yang berkelanjutan, kita dapat berharap untuk melihat penerapan yang lebih luas dari teknologi ini dalam industri energi, yang pada gilirannya dapat membantu mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Written by 

Teknologia managed by CV Teknologia (Teknologia Group) is a publisher of books and scientific journals with both national and international reach.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *