Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Dalam beberapa tahun terakhir, popularitas diet berbasis nabati seperti vegetarian, vegan, dan fleksitarian telah meningkat pesat, mendorong permintaan akan sumber protein nabati yang berkelanjutan. Salah satu bahan yang semakin menarik perhatian industri pangan adalah Spirulina, mikroalga yang dikenal karena kandungan protein tinggi dan profil asam amino lengkapnya. Dalam dunia Teknologi Pangan, Spirulina dianggap sebagai bahan potensial untuk memenuhi kebutuhan protein konsumen yang semakin mencari produk dengan label bersih (clean-label) dan berbasis nabati.
Keunggulan utama Spirulina adalah kandungan proteinnya yang mencapai 60-70%, serta lengkapnya profil asam amino esensial, menjadikannya sumber protein nabati yang setara dengan protein hewani. Hal ini sangat penting dalam menciptakan produk pangan berbasis tumbuhan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi tanpa harus mengorbankan kualitas gizi. Namun, meskipun kaya akan protein dan zat bioaktif, pemanfaatan Spirulina dalam formulasi produk pangan menghadapi beberapa tantangan yang perlu diperhatikan.
Salah satu tantangan utama adalah rasa Spirulina yang kuat dan khas, sering kali digambarkan sebagai rasa tanah atau amis. Rasa ini dapat menjadi penghalang bagi konsumen, terutama jika produk pangan yang dihasilkan tidak berhasil menyamarkan rasa tersebut. Bagi industri pangan, tantangan ini mendorong pencarian solusi untuk mengatasi masalah organoleptik tanpa merusak kualitas nutrisi Spirulina. Beberapa strategi yang sedang dieksplorasi meliputi kombinasi dengan bahan-bahan lain yang lebih netral atau teknologi kapsulasi untuk menutupi rasa kuat Spirulina.
Selain tantangan sensorik, proses ekstraksi senyawa bioaktif Spirulina juga memerlukan perhatian khusus. Spirulina mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti phycocyanin, klorofil, serta antioksidan yang memiliki manfaat kesehatan signifikan. Namun, banyak dari senyawa ini sangat sensitif terhadap panas, sehingga metode ekstraksi tradisional yang menggunakan suhu tinggi dapat merusak atau menurunkan aktivitas bioaktifnya. Hal ini menjadi tantangan besar dalam produksi skala besar, di mana efisiensi ekstraksi dan integritas komponen bioaktif harus dijaga secara bersamaan.
Untuk mengatasi masalah ini, para peneliti dan pelaku industri kini beralih ke teknik ekstraksi non-termal, yang mampu mempertahankan kandungan bioaktif tanpa merusaknya. Beberapa metode inovatif seperti ekstraksi dengan bantuan ultrasonik, tekanan tinggi, atau teknologi membran telah menunjukkan potensi besar dalam menjaga integritas senyawa bioaktif Spirulina. Dengan pendekatan ini, produk pangan yang menggunakan Spirulina dapat tetap kaya akan zat gizi tanpa harus khawatir kehilangan khasiat fungsionalnya selama proses produksi.
Kemajuan dalam budidaya Spirulina juga berperan penting dalam mengoptimalkan pemanfaatannya di industri pangan. Berbagai inovasi dalam teknik budidaya, seperti pengaturan lingkungan tumbuh yang optimal dan pemilihan strain Spirulina yang unggul, membantu meningkatkan hasil panen dan kualitas bahan baku. Dalam skala yang lebih besar, budidaya Spirulina juga mendukung keberlanjutan lingkungan karena proses produksinya yang rendah emisi dan hemat lahan dibandingkan sumber protein hewani.
Secara keseluruhan, Spirulina menawarkan solusi potensial sebagai sumber protein nabati yang berkelanjutan dan kaya nutrisi. Namun, keberhasilan pengaplikasiannya dalam industri pangan akan sangat bergantung pada kemampuan untuk mengatasi tantangan terkait rasa dan proses ekstraksi. Sebagai seorang dosen di bidang Teknologi Pangan, saya melihat bahwa masa depan Spirulina dalam industri pangan sangat menjanjikan, terutama jika didukung dengan inovasi teknologi yang mampu mengatasi kendala organoleptik dan fungsional. Kombinasi antara nilai gizi tinggi dan manfaat kesehatan Spirulina membuatnya menjadi bahan yang layak untuk terus dieksplorasi dalam menciptakan produk pangan yang sehat, berkelanjutan, dan disukai konsumen.