Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Meningkatkan penggunaan protein nabati dalam produk pangan merupakan salah satu tantangan besar dalam industri pangan, terutama untuk memenuhi tuntutan konsumen yang semakin peduli terhadap kesehatan dan lingkungan. Namun, untuk mencapai kualitas produk pangan berbasis protein nabati yang optimal, perlu diperhatikan sifat fisikokimia protein tersebut, seperti kapasitas emulsifikasi, gelatinisasi, dan stabilitas termal. Faktor-faktor ini sangat penting dalam menentukan fungsionalitas dan diterimanya produk pangan oleh konsumen.
Solubilitas protein memiliki peran sentral dalam menentukan karakteristik fungsional ini. Semakin tinggi solubilitas protein, semakin baik kemampuan protein tersebut untuk mengalami denaturasi dan membentuk emulsi atau gel yang stabil. Oleh karena itu, pengembangan bahan baku protein nabati yang berkualitas tinggi sangat bergantung pada metode yang tepat dan akurat dalam mengukur solubilitasnya. Penelitian ini berfokus pada perbandingan efektivitas empat metode pengukuran solubilitas kolorimetrik yang umum digunakan, yaitu metode Bradford, Lowry, bicinchoninic acid (BCA), dan biuret, untuk protein legum dan hidrolisat protein.
Penelitian ini dilakukan dengan mengisolasi protein dari kacang polong, buncis, lentil, dan kedelai, yang kemudian diukur solubilitasnya pada berbagai pH menggunakan keempat metode tersebut. Selain itu, solubilitas hidrolisat protein buncis dan kedelai yang dihasilkan menggunakan enzim Alcalase dan Flavourzyme juga diukur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Bradford dan Lowry memberikan hasil yang paling akurat dalam mengukur solubilitas protein yang tidak terhidrolisis, sedangkan metode BCA dan biuret cenderung meremehkan nilai solubilitas hingga 30%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua metode tersebut kurang dapat diandalkan untuk pengukuran protein utuh.
Menariknya, untuk mengukur solubilitas hidrolisat protein, metode Lowry menjadi metode yang paling direkomendasikan. Metode Bradford, di sisi lain, menunjukkan keterbatasan karena tidak mampu berinteraksi dengan peptida yang larut pada titik isoelektrik, sehingga menghasilkan nilai solubilitas 0% pada pH tersebut. Ini merupakan temuan penting bagi para peneliti dan produsen pangan karena solubilitas protein pada titik isoelektrik sering menjadi kendala dalam formulasi produk berbasis protein nabati, terutama dalam menciptakan tekstur dan stabilitas yang diinginkan.
Metode pengukuran solubilitas yang akurat sangat penting karena mempengaruhi konsistensi hasil penelitian serta pengembangan produk dalam skala industri. Dengan memahami kelebihan dan kekurangan dari setiap metode kolorimetrik, industri pangan dapat memilih metode yang paling sesuai untuk memastikan bahwa protein nabati yang digunakan memiliki kualitas fungsional yang optimal, terutama dalam hal kelarutan, emulsifikasi, dan kemampuan membentuk gel.
Sebagai seorang Dosen Teknologi Pangan, saya melihat penelitian ini sebagai kontribusi penting dalam pengembangan protein nabati sebagai bahan baku yang semakin relevan dalam produk pangan modern. Selain memberikan wawasan baru tentang metode pengukuran solubilitas, penelitian ini juga membantu menciptakan standar yang lebih seragam dalam mengukur sifat fungsional protein nabati, yang akan sangat berguna dalam pengembangan produk pangan inovatif di masa depan.
Dengan semakin banyaknya penelitian tentang protein nabati, konsistensi dalam pengukuran solubilitas menjadi kunci untuk memastikan bahwa hasil penelitian dari berbagai laboratorium dapat dibandingkan secara langsung. Penelitian ini memberikan fondasi yang kuat untuk itu, dan pada akhirnya akan berkontribusi pada keberhasilan produk pangan berbasis nabati yang tidak hanya lezat tetapi juga fungsional dan bermanfaat bagi kesehatan.