Review Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Dalam beberapa dekade mendatang, Eropa akan mengalami transformasi besar dalam sistem energinya, beralih dari ketergantungan pada bahan bakar fosil menuju peningkatan proporsi sumber energi terbarukan. Perubahan ini tidak hanya penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga untuk menciptakan sistem energi yang lebih berkelanjutan dan resilient. Namun, dengan meningkatnya proporsi energi terbarukan, tantangan baru muncul, terutama terkait fluktuasi dalam produksi dan permintaan listrik yang disebabkan oleh variabilitas meteorologis. Hal ini dapat menyebabkan peristiwa ekstrem yang memiliki dampak yang tidak terduga pada sistem tenaga Eropa.
Untuk mengatasi tantangan ini, penelitian terbaru telah mengembangkan dan memvalidasi kerangka pemodelan yang dirancang untuk menganalisis dampak peristiwa ekstrem pada sistem tenaga Eropa. Kerangka ini terdiri dari enam modul yang saling terintegrasi, termasuk modul aliran air hidroelektrik, modul produksi hidroelektrik run-of-river, modul produksi energi angin, modul produksi energi fotovoltaik, dan modul permintaan listrik. Dengan menggunakan data reanalisis ERA5 dan distribusi kapasitas saat ini, model ini mampu menghitung produksi dan permintaan listrik untuk sejumlah negara Eropa dalam periode 2015–2021.
Hasil dari pemodelan ini menunjukkan bahwa model tersebut dapat menangkap variabilitas dan ekstrem dari produksi energi angin, fotovoltaik, dan run-of-river dengan baik. Korelasi antara data yang dimodelkan dan data yang diamati untuk sebagian besar negara mencapai lebih dari 0.87 untuk energi angin, 0.68 untuk energi fotovoltaik, dan 0.65 untuk run-of-river. Ini menunjukkan bahwa model ini cukup akurat dalam merepresentasikan kondisi nyata, yang sangat penting untuk perencanaan dan pengelolaan sistem energi di masa depan.
Namun, meskipun modul dispatch hidroelektrik menunjukkan kinerja yang baik dengan korelasi hingga 0.82, ada tantangan dalam menangkap aliran reservoir dan prosedur operasional di beberapa negara. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun model ini sangat berguna, masih ada ruang untuk perbaikan, terutama dalam hal akurasi data aliran air dan pengoperasian sistem hidroelektrik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi kekurangan ini agar model dapat lebih efektif dalam memprediksi dan mengelola peristiwa ekstrem.
Studi kasus yang dilakukan di Swedia dan Spanyol memberikan wawasan lebih dalam tentang pengaruh kondisi meteorologis terhadap peristiwa ekstrem. Hasil menunjukkan bahwa kondisi meteorologis yang dipilih oleh model dan diekstrak dari data observasional memiliki kesamaan, memberikan kepercayaan pada aplikasi kerangka pemodelan ini untuk analisis peristiwa ekstrem di masa depan. Ini sangat penting, mengingat bahwa pemahaman yang lebih baik tentang pemicu meteorologis dapat membantu dalam perencanaan dan mitigasi dampak dari fluktuasi produksi energi.
Sebagai seorang dosen di bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, saya melihat penelitian ini sebagai langkah maju yang signifikan dalam memahami dan mengelola tantangan yang dihadapi oleh sistem energi Eropa. Dengan meningkatnya ketergantungan pada sumber energi terbarukan, penting bagi kita untuk memiliki alat yang tepat untuk menganalisis dan merespons peristiwa ekstrem yang dapat mempengaruhi stabilitas dan keandalan sistem tenaga.
Secara keseluruhan, kerangka pemodelan yang dikembangkan dalam penelitian ini menawarkan potensi besar untuk meningkatkan pemahaman kita tentang dinamika sistem energi yang kompleks. Dengan terus mengembangkan dan menyempurnakan model ini, kita dapat berharap untuk menciptakan sistem energi yang lebih resilient dan berkelanjutan, yang mampu menghadapi tantangan fluktuasi produksi listrik di masa depan. Transformasi energi Eropa bukan hanya tentang transisi ke sumber energi terbarukan, tetapi juga tentang bagaimana kita dapat mengelola perubahan ini dengan bijaksana dan efektif.