Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang sangat produktif dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dalam industri pangan, kosmetik, serta biofuel. Namun, tantangan utama dalam budidaya kelapa sawit adalah stres abiotik seperti kekurangan air, penumpukan garam, dan suhu tinggi. Faktor-faktor ini sangat memengaruhi pertumbuhan, fisiologi, dan hasil kelapa sawit dengan membatasi aliran air di antara tanah, tanaman, dan lingkungan. Meskipun efek fisiologis dan biokimia dari kekeringan telah banyak diteliti, mekanisme molekuler di balik toleransi stres kekeringan pada kelapa sawit masih belum sepenuhnya dipahami.
Penelitian ini mengeksplorasi dua kultivar komersial E. guineensis, yaitu IRHO 7001 dan IRHO 2501, untuk memahami bagaimana masing-masing kultivar merespons kondisi kekurangan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa defisit air secara signifikan memengaruhi fisiologi kedua kultivar, namun dampaknya lebih parah pada IRHO 2501 dibandingkan IRHO 7001. Setelah beberapa hari mengalami defisit air, terjadi penurunan laju fotosintesis (A) sebesar 40% pada IRHO 7001, sedangkan IRHO 2501 mengalami penurunan sebesar 58%. Dalam kondisi kekeringan yang lebih lama, penurunan A pada IRHO 7001 mencapai 75%, sementara IRHO 2501 turun drastis hingga 91%. Kedua kultivar bereaksi terhadap stres kekeringan dengan menutup stomata dan mengurangi laju transpirasi.
Menariknya, meskipun ada perbedaan signifikan dalam hal toleransi kekeringan, tidak ditemukan perbedaan yang berarti dalam konduktansi stomata, transpirasi, atau efisiensi penggunaan air pada tingkat daun antara kedua kultivar. Hal ini menunjukkan bahwa IRHO 7001 lebih toleran terhadap stres kekeringan daripada IRHO 2501, meskipun mekanisme toleransinya bukan disebabkan oleh efisiensi penggunaan air secara langsung. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memahami mekanisme molekuler yang mendasari perbedaan ini.
Untuk menggali lebih dalam perbedaan molekuler antara kedua kultivar, analisis ekspresi gen diferensial dilakukan menggunakan algoritma DESeq2, yang mengidentifikasi 502 gen yang terekspresi secara diferensial (DEGs). Jaringan ko-ekspresi gen pada IRHO 7001 terdiri dari 274 DEGs dan 46 gen HUB yang diprediksi, sementara jaringan ko-ekspresi pada IRHO 2501 melibatkan 249 DEGs dan hanya 3 gen HUB. Validasi RT-qPCR pada 15 gen yang terekspresi secara diferensial mengonfirmasi data RNA-Seq, memberikan keyakinan lebih pada hasil analisis transkriptomik ini.
Analisis transkriptomik dan jaringan ko-ekspresi gen mengungkapkan beberapa gen yang terkait dengan fungsi regulasi dan transkripsi, yang berperan penting dalam respon terhadap stres kekeringan. Salah satu temuan menarik adalah overekspresi protein zinc finger ZAT11 dan linoleate 13S-lipoxygenase 2-1 (LOX2.1) pada IRHO 2501, yang justru under-ekspresi pada IRHO 7001. Ini mengindikasikan adanya perbedaan dalam jalur regulasi molekuler di antara kedua kultivar dalam merespons stres kekeringan.
Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa interaksi antara berbagai fitohormon merupakan komponen kunci dalam respon dan adaptasi kelapa sawit terhadap kekeringan. Penemuan ini menyoroti pentingnya crosstalk fitohormon dalam mengatur toleransi tanaman terhadap kondisi lingkungan yang menantang.
Sebagai dosen di bidang Teknologi Pangan, saya melihat penelitian ini memberikan wawasan berharga mengenai strategi adaptasi molekuler yang berbeda pada kultivar kelapa sawit terhadap stres kekeringan. Pemahaman yang lebih dalam mengenai mekanisme ini dapat membuka peluang untuk pengembangan varietas kelapa sawit yang lebih tahan terhadap perubahan iklim dan kekurangan air, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan industri kelapa sawit di masa depan.