Review Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Dalam industri pengolahan makanan modern, pemanfaatan panas merupakan salah satu fondasi utama yang mendukung berbagai proses produksi. Saat ini, penggunaan boiler berbahan bakar fosil masih mendominasi dalam penyediaan air panas, uap, dan udara panas. Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan keberlanjutan dan adanya kebijakan pajak karbon, serta upaya internasional untuk mengurangi ketergantungan pada gas alam, kebutuhan akan teknologi baru yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca dalam pengolahan makanan semakin mendesak.
Salah satu solusi yang menjanjikan adalah pengembangan teknologi pemanasan yang berbasis listrik, energi geotermal, dan konversi listrik menjadi hidrogen. Teknologi ini mencakup berbagai sistem seperti sel bahan bakar, mikro-turbine, mesin, boiler listrik, pompa panas, radiasi, dan pemanfaatan energi geotermal. Sebagian besar teknologi ini sudah tersedia untuk diterapkan dalam skala yang lebih besar dan umumnya memiliki emisi yang lebih rendah dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil. Hal ini menunjukkan bahwa transisi menuju sistem pemanasan yang lebih berkelanjutan bukan hanya mungkin, tetapi juga sudah dalam jangkauan.
Meskipun demikian, terdapat beberapa hambatan yang menghalangi adopsi luas teknologi pemanasan yang lebih berkelanjutan. Salah satu tantangan utama adalah harga bahan bakar fosil yang masih rendah, yang membuat investasi dalam teknologi baru menjadi kurang menarik secara ekonomi. Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan dan potensi regulasi yang lebih ketat di masa depan, ada harapan bahwa teknologi yang lebih ramah lingkungan akan semakin banyak diadopsi.
Transformasi langsung dari energi listrik menjadi panas, serta pemanfaatan energi geotermal untuk keperluan pemanasan, menunjukkan potensi yang sangat menjanjikan. Energi geotermal, yang berasal dari panas bumi, dapat dimanfaatkan secara langsung untuk proses pemanasan, mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil. Selain itu, penggunaan hidrogen yang dihasilkan melalui elektrolisis sebagai sumber energi transportable juga dapat menjadi alternatif yang menarik, terutama di lokasi produksi yang memiliki keterbatasan akses terhadap jaringan listrik.
Dalam konteks ini, sel bahan bakar dan mikro-turbine menjadi pilihan yang menarik karena efisiensinya yang tinggi dan emisi yang rendah. Sel bahan bakar, misalnya, dapat mengubah hidrogen menjadi listrik dan panas dengan efisiensi yang lebih baik dibandingkan dengan pembakaran langsung. Sementara itu, mikro-turbine dapat digunakan untuk menghasilkan listrik dan panas secara bersamaan, memberikan solusi yang lebih komprehensif untuk kebutuhan energi di industri pengolahan makanan.
Penerapan pompa panas juga patut dicatat, karena teknologi ini dapat memanfaatkan sumber panas yang ada di lingkungan sekitar, seperti udara atau tanah, untuk meningkatkan efisiensi pemanasan. Dengan memanfaatkan sumber daya yang terbarukan dan berkelanjutan, pompa panas dapat membantu mengurangi emisi karbon dan biaya operasional dalam jangka panjang.
Secara keseluruhan, transisi menuju teknologi pemanasan yang lebih berkelanjutan dalam industri pengolahan makanan adalah langkah penting untuk mencapai tujuan keberlanjutan global. Dengan mengadopsi teknologi yang lebih ramah lingkungan, industri tidak hanya dapat mengurangi dampak lingkungan mereka, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan daya saing di pasar yang semakin mengutamakan keberlanjutan. Oleh karena itu, penting bagi para pemangku kepentingan untuk terus mendukung penelitian dan pengembangan dalam bidang ini, serta menciptakan kebijakan yang mendorong adopsi teknologi baru yang lebih berkelanjutan.