Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Rempah-rempah telah lama digunakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di China, di mana rempah-rempah tidak hanya berfungsi sebagai penambah cita rasa makanan, tetapi juga memiliki berbagai manfaat tambahan. Selain meningkatkan kualitas sensorik makanan, rempah-rempah dan turunannya terbukti memiliki potensi sebagai pengawet alami. Studi ini berfokus pada tiga jenis rempah khas China, yaitu kulit kayu manis (cassia bark), buah laurel, dan cengkeh, yang dieksplorasi untuk mengidentifikasi senyawa aktif dan aktivitas antibakterinya.
Penelitian ini menggunakan metode ekstraksi simulasi untuk menganalisis komponen utama dan kemampuan antibakteri dari minyak esensial ketiga rempah tersebut. Melalui teknik headspace solid-phase microextraction (HS-SPME) dan gas chromatography-mass spectrometry (GC–MS), ditemukan bahwa komponen aktif utama dalam minyak esensial cassia bark adalah cinnamaldehyde (78,11%), buah laurel mengandung cinnamaldehyde (61,78%), sementara cengkeh mengandung eugenol (75,23%). Kandungan senyawa bioaktif ini menunjukkan adanya potensi besar dalam aplikasi antibakteri yang dapat digunakan untuk keperluan industri pangan.
Uji difusi pada agar dan eksperimen dengan media kultur makanan simulasi mengkonfirmasi bahwa minyak esensial yang diekstraksi dari ketiga rempah tersebut memiliki efek antibakteri yang signifikan terhadap beberapa spesies Listeria, seperti Listeria monocytogenes, Listeria innocua, Listeria welshimeri, Listeria ivanovii, Listeria grayi, dan juga bakteri Vibrio parahaemolyticus. Keberadaan bakteri-bakteri ini merupakan ancaman serius dalam industri pangan, terutama karena kemampuan mereka untuk bertahan di berbagai kondisi lingkungan dan potensinya dalam menyebabkan keracunan makanan.
Dalam uji aktivitas antibakteri ini, ditemukan bahwa minyak esensial cassia bark memiliki aktivitas antibakteri yang paling kuat dibandingkan dengan dua rempah lainnya. Sebaliknya, buah laurel memiliki aktivitas antibakteri yang paling rendah. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kandungan senyawa aktif di dalam minyak esensial dan juga kondisi optimal ekstraksi yang bervariasi untuk masing-masing strain bakteri. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini memberikan wawasan yang berharga tentang potensi penggunaan minyak esensial sebagai bahan tambahan alami dalam makanan.
Dari perspektif Teknologi Pangan, temuan ini membuka peluang besar untuk mengembangkan aditif makanan alami dan agen antibakteri berbasis rempah. Penggunaan minyak esensial sebagai pengawet alami tidak hanya akan meningkatkan keamanan pangan tetapi juga menambah nilai pada produk akhir, terutama karena konsumen modern semakin mencari produk makanan yang lebih alami dan bebas dari bahan pengawet sintetis. Pengembangan lebih lanjut dari ekstrak minyak esensial ini bisa membantu produsen makanan dalam memperpanjang umur simpan produk tanpa harus mengorbankan kualitas atau keamanan.
Secara khusus, cinnamaldehyde dalam cassia bark dan eugenol dalam cengkeh adalah senyawa dengan potensi besar dalam aplikasi pengawet makanan, karena keduanya memiliki efek penghambatan pertumbuhan bakteri yang kuat. Penggunaan rempah-rempah ini sebagai pengawet alami dapat diintegrasikan ke dalam berbagai produk makanan yang rentan terhadap kontaminasi bakteri, seperti produk daging olahan, susu, dan produk segar lainnya.
Studi ini tidak hanya menunjukkan manfaat potensial dari rempah-rempah khas China, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya penelitian lebih lanjut untuk mengoptimalkan kondisi ekstraksi dan aplikasi praktis dari minyak esensial ini. Dengan lebih banyak riset, rempah-rempah seperti cassia bark, buah laurel, dan cengkeh dapat menjadi solusi alami dan ramah lingkungan dalam memastikan keamanan pangan, sekaligus memberikan alternatif inovatif bagi industri makanan yang berkelanjutan.