Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Penggunaan listrik di Mindanao, Filipina, terus meningkat seiring dengan perkembangan ekonomi yang pesat, di mana pembangkit listrik tenaga termal menyumbang sekitar 54% dari kapasitas keseluruhan. Dalam menghadapi proyeksi kebutuhan kapasitas baru sebesar 3.500 MW antara tahun 2021 dan 2030, serta adanya pembatasan terhadap fasilitas pembangkit listrik tenaga batu bara akibat transisi ke energi terbarukan, Mindanao menghadapi potensi krisis pasokan listrik. Dalam konteks ini, kajian terhadap tren, tantangan, dan peluang pembangkit listrik yang ada di Mindanao menjadi penting, terutama yang berfokus pada teknologi batu bara, biomassa, dan geothermal.
Berdasarkan laporan pemerintah dan wawancara dengan para pemangku kepentingan, terungkap bahwa dari 28 pembangkit listrik yang ada di Mindanao, hanya 7 di antaranya yang berbasis biomassa, yang berkontribusi sebesar 84,8 MW dari total kapasitas terpasang sebesar 4.575,9 MW, sementara batu bara masih mendominasi dengan kapasitas sebesar 2.268 MW. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kontribusi biomassa masih relatif kecil, potensi pengembangan pembangkit listrik berbasis biomassa di Mindanao sangat besar, mengingat melimpahnya sumber daya lokal seperti sekam padi, bagasse, jagung, dan sisa hutan.
Dengan total limbah pertanian dari sumber daya tersebut diperkirakan mencapai 4.447.309,49 MT, dan potensi energi yang setara dengan sekitar 18,49 TWh, energi dari biomassa ini dapat mencakup sekitar 93,03% dari output energi batu bara saat ini yang mencapai 19,87 TWh. Ini menunjukkan bahwa biomassa memiliki potensi signifikan untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara. Namun, untuk sepenuhnya menggantikan batu bara, diperlukan tambahan sumber energi terbarukan lainnya atau langkah-langkah efisiensi energi.
Strategi transisi yang diusulkan melibatkan cofiring, di mana biomassa digunakan dalam proporsi rendah bersama dengan batu bara, kemudian secara bertahap meningkat seiring dengan peningkatan rantai pasokan dan teknologi biomassa. Pendekatan ini telah diterapkan oleh operasi kiln rotary Holcim dengan tingkat substitusi termal sebesar 30%, yang mengintegrasikan sumber biomassa alternatif tanpa harus langsung menonaktifkan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Meskipun potensi biomassa sangat menjanjikan, tantangan dalam integrasi biomassa ke dalam sistem pembangkit listrik masih cukup besar. Salah satu tantangan utama adalah ketidakpastian pasokan biomassa yang konsisten dan berkelanjutan, serta kebutuhan untuk meningkatkan teknologi konversi energi biomassa agar efisiensinya semakin optimal.
Untuk itu, diperlukan penelitian lebih lanjut yang mengeksplorasi skalabilitas integrasi biomassa dan dampak jangka panjangnya terhadap keamanan energi regional serta keberlanjutan lingkungan. Hal ini mencakup analisis mendalam tentang bagaimana kombinasi berbagai sumber energi terbarukan dapat secara efektif menggantikan ketergantungan pada batu bara di Mindanao, serta bagaimana pengelolaan limbah biomassa dapat dioptimalkan untuk mendukung sistem energi yang lebih bersih dan efisien.