Purwokerto, 4 Januari 2023 — Ropiudin, S.TP., M.Si., dosen bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan di Universitas Jenderal Soedirman, dalam sebuah wawancara eksklusif menguraikan potensi, tantangan, dan peluang pembangkit listrik termal di Mindanao, Filipina. Ropiudin, yang juga merupakan anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), menekankan pentingnya pemanfaatan energi terbarukan untuk mengatasi ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga batu bara di wilayah tersebut.
“Mindanao menghadapi tantangan besar dengan proyeksi kebutuhan tambahan kapasitas listrik sebesar 3.500 MW antara 2021 dan 2030. Transisi ke energi terbarukan menjadi sangat penting, terutama karena adanya pembatasan terhadap fasilitas pembangkit listrik batu bara,” jelas Ropiudin. Dalam konteks ini, pembangkit listrik berbasis biomassa dan geothermal dianggap sebagai solusi potensial untuk memenuhi kebutuhan energi di wilayah tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan pemerintah dan wawancara dengan pemangku kepentingan, Ropiudin menjelaskan bahwa dari 28 pembangkit listrik yang ada di Mindanao, hanya 7 yang berbasis biomassa, dengan kontribusi sebesar 84,8 MW dari total kapasitas terpasang 4.575,9 MW. “Meskipun saat ini kontribusi biomassa masih kecil, potensi pengembangannya sangat besar. Mindanao memiliki sumber daya biomassa lokal yang melimpah, seperti sekam padi, bagasse, dan sisa hutan,” ujarnya.
Ropiudin menambahkan bahwa dengan total limbah pertanian yang diperkirakan mencapai 4,4 juta metrik ton, potensi energi dari biomassa di Mindanao dapat mencapai sekitar 18,49 TWh. “Ini dapat mencakup sekitar 93,03% dari output energi batu bara saat ini, yang mencapai 19,87 TWh. Ini menunjukkan bahwa biomassa memiliki potensi signifikan untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara,” paparnya.
Namun, Ropiudin juga menggarisbawahi tantangan utama dalam integrasi biomassa ke dalam sistem pembangkit listrik. “Tantangan terbesar adalah memastikan pasokan biomassa yang konsisten dan berkelanjutan, serta peningkatan teknologi konversi energi biomassa agar efisiensinya semakin optimal,” katanya.
Dalam upaya transisi energi, Ropiudin mengusulkan strategi cofiring, di mana biomassa digunakan dalam proporsi rendah bersama dengan batu bara, kemudian secara bertahap meningkat. “Pendekatan ini telah diterapkan di beberapa tempat, seperti operasi kiln rotary Holcim, yang berhasil mencapai tingkat substitusi termal sebesar 30% tanpa harus langsung menonaktifkan pembangkit listrik tenaga batu bara,” jelasnya.
Untuk ke depan, Ropiudin menekankan pentingnya penelitian lebih lanjut yang mengeksplorasi skalabilitas integrasi biomassa dan dampak jangka panjangnya terhadap keamanan energi regional serta keberlanjutan lingkungan. “Kombinasi berbagai sumber energi terbarukan dan pengelolaan limbah biomassa yang lebih baik sangat penting untuk mendukung sistem energi yang lebih bersih dan efisien di Mindanao,” pungkasnya.
Wawancara ini menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan, potensi energi terbarukan di Mindanao, terutama biomassa, menawarkan peluang besar untuk masa depan energi yang lebih berkelanjutan di wilayah tersebut.