Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Sebagai seorang Dosen Teknologi Pangan, kajian mengenai Wallflower (Erysimum cheiri (L.) Crantz) dalam menghadapi stres kekeringan melalui peningkatan ploidi memberikan wawasan menarik, terutama dalam kaitannya dengan produksi senyawa fenolik yang memiliki nilai penting di berbagai industri seperti pangan, kosmetik, dan farmasi. Penelitian ini menunjukkan bagaimana duplikasi genom (poliploidisasi) pada tanaman Wallflower meningkatkan toleransi terhadap kekurangan air, yang merupakan fenomena global yang semakin merugikan pertumbuhan tanaman dan hasil produksi.
Salah satu mekanisme yang menjadi fokus penelitian ini adalah peningkatan tingkat ploidi (tetraploid) sebagai cara untuk meningkatkan toleransi kekeringan. Tanaman tetraploid dengan jumlah kromosom ganda menunjukkan resistensi yang lebih baik terhadap stres air dibandingkan dengan tanaman diploid. Hal ini terlihat dari kemampuan mereka untuk mempertahankan kadar air relatif (RWC) yang lebih tinggi, yakni sebesar 85%, sementara tanaman diploid hanya dapat mempertahankan RWC sebesar 68%. Keunggulan ini sangat penting dalam kondisi defisit air, di mana kapasitas untuk mempertahankan air menjadi salah satu indikator utama toleransi kekeringan.
Tanaman tetraploid menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam produksi metabolit sekunder, seperti total gula terlarut dan kandungan prolin, yang membantu dalam penyesuaian osmotik. Selain itu, aktivitas enzim antioksidan seperti SOD (superoksida dismutase), CAT (katalase), APX (askorbat peroksidase), dan POD (peroksidase) juga meningkat pada tanaman tetraploid. Aktivitas enzim antioksidan ini penting dalam detoksifikasi spesies oksigen reaktif (ROS) yang dihasilkan akibat stres lingkungan, termasuk kekeringan. Dalam hal ini, tetraploid memiliki sistem pertahanan yang lebih baik terhadap kerusakan oksidatif, yang juga meningkatkan kemampuan tanaman untuk bertahan dalam kondisi air yang terbatas.
Selain itu, peningkatan senyawa fenolik dan flavonoid dalam tanaman tetraploid menunjukkan bahwa poliploidisasi dapat mendorong produksi metabolit sekunder yang berperan dalam pertahanan non-enzimatik. Senyawa seperti asam klorogenat dan asam galat, yang diidentifikasi sebagai fenolik utama dalam daun Erysimum tetraploid, memiliki nilai ekonomi tinggi dalam industri pangan, kosmetik, dan farmasi karena sifat antioksidan dan anti-inflamasi mereka.
Peningkatan hormon stres seperti asam absisat, asam salisilat, asam jasmonat, dan auksin pada tanaman tetraploid dalam kondisi kekeringan juga menunjukkan strategi adaptif yang lebih baik dibandingkan tanaman diploid. Hormon-hormon ini berperan dalam respons stres tanaman dan membantu memodulasi pertahanan terhadap kekurangan air. Sebaliknya, penurunan fitohormon seperti sitokinin dan giberelin dalam kondisi stres merupakan bagian dari adaptasi tanaman untuk menghemat energi dan sumber daya dalam menghadapi lingkungan yang tidak menguntungkan.
Dari sudut pandang industri, teknik poliploidisasi yang diikuti dengan stres kekeringan memberikan peluang besar untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder. Senyawa fenolik dan flavonoid yang diproduksi dalam jumlah lebih tinggi oleh tanaman tetraploid memiliki aplikasi yang luas, termasuk sebagai bahan aktif dalam produk kosmetik, suplemen makanan, dan obat-obatan. Selain itu, peningkatan toleransi terhadap kekeringan juga berarti bahwa tanaman ini dapat dibudidayakan di daerah dengan ketersediaan air yang terbatas, sehingga memungkinkan produksi yang lebih berkelanjutan dan ekonomis dalam jangka panjang.
Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan bahwa poliploidisasi merupakan strategi yang efektif untuk meningkatkan toleransi kekeringan dan produksi metabolit sekunder dalam tanaman Wallflower. Keunggulan tanaman tetraploid dalam kondisi air rendah memberikan potensi besar bagi pengembangan industri yang memanfaatkan tanaman ini, baik dalam konteks florikultura maupun produksi senyawa bernilai ekonomi tinggi. Penggunaan teknik poliploidisasi ini dapat menjadi solusi inovatif dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global, terutama dalam hal kekurangan air yang semakin parah.