Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Dampak konsumsi makanan ultra-olahan terhadap pola makan dan risiko kekurangan mikronutrien, terutama pada kelompok usia dewasa muda. Sebagai seorang Dosen Teknologi Pangan, penelitian ini memberikan banyak wawasan mengenai tantangan dalam menjaga kualitas diet di era modern, di mana konsumsi makanan olahan semakin meningkat.
Keragaman pola makan (dietary diversity score/DDS) yang diukur dalam penelitian ini menggambarkan betapa pentingnya variasi dalam konsumsi makanan untuk memastikan asupan gizi yang cukup, baik makronutrien maupun mikronutrien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keragaman pola makan peserta adalah 4,4 ± 0,6, yang relatif rendah dan mengindikasikan kurangnya variasi konsumsi makanan. Banyak peserta, lebih dari 80%, tidak memenuhi asupan yang direkomendasikan untuk kelompok makanan penting seperti kacang-kacangan, telur, produk susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Ini menjadi masalah serius mengingat makanan-makanan tersebut merupakan sumber utama vitamin, mineral, dan protein berkualitas tinggi yang penting bagi kesehatan tubuh.
Sebagai seorang dosen teknologi pangan, hasil ini bisa digunakan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mengedukasi masyarakat mengenai keragaman makanan. Penyusunan menu yang beragam bukan hanya sekedar pilihan, tetapi menjadi keharusan untuk memastikan kecukupan nutrisi yang dibutuhkan tubuh untuk berfungsi dengan baik.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa makanan ultra-olahan menyumbang 17% dari total asupan energi peserta, dengan kontribusi yang signifikan terhadap asupan gula tambahan (29%), lemak (20%), dan natrium (33%). Ini menunjukkan bahwa makanan ultra-olahan sering kali tinggi kalori, gula, dan garam, namun rendah dalam kualitas nutrisi. Akibatnya, konsumsi makanan ultra-olahan bisa menyebabkan ketidakseimbangan asupan makronutrien dan meningkatkan risiko kekurangan mikronutrien.
Dari perspektif teknologi pangan, penting untuk menyoroti bahwa makanan ultra-olahan cenderung mengalami penurunan kualitas nutrisi selama proses produksi. Banyak makanan ultra-olahan melalui tahapan pemrosesan yang menghilangkan sebagian besar mikronutrien penting, sementara kandungan lemak, gula, dan garam ditambahkan untuk meningkatkan rasa dan daya simpan. Oleh karena itu, reformulasi makanan olahan untuk mengurangi kandungan gula, garam, dan lemak, serta menambah kembali mikronutrien yang hilang, dapat menjadi solusi penting dalam mengurangi dampak negatif makanan ultra-olahan terhadap kesehatan.
Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan risiko kekurangan nutrisi antara pria dan wanita. Pria menunjukkan risiko lebih tinggi untuk kekurangan zinc (Zn), folat, dan niasin, sementara wanita lebih berisiko mengalami kekurangan zat besi (Fe), vitamin B6, dan vitamin A. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan gizi antara pria dan wanita berbeda, dan oleh karena itu, strategi intervensi gizi juga harus disesuaikan dengan kebutuhan gender.
Dalam konteks teknologi pangan, ini menjadi peluang untuk mengembangkan produk makanan yang lebih spesifik berdasarkan kebutuhan gizi individu, termasuk berdasarkan perbedaan gender. Produk-produk semacam ini dapat diperkaya dengan mikronutrien penting seperti zat besi untuk wanita atau zinc untuk pria, yang dirancang secara khusus untuk memenuhi kekurangan gizi yang paling umum pada setiap kelompok.
Penelitian juga menunjukkan adanya korelasi positif antara asupan energi dari makanan ultra-olahan dan risiko kekurangan niasin serta folat. Hal ini menjadi perhatian khusus karena makanan ultra-olahan cenderung rendah kandungan mikronutrien esensial, yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko kekurangan gizi. Kekurangan mikronutrien seperti niasin dan folat bisa berakibat serius pada kesehatan, termasuk gangguan metabolisme dan penurunan fungsi sistem saraf.
Sebagai seorang dosen teknologi pangan, hal ini menjadi dasar kuat untuk menyampaikan kepada mahasiswa pentingnya menjaga keseimbangan antara konsumsi makanan segar dan makanan olahan. Penelitian ini juga mempertegas perlunya upaya lebih besar untuk mengedukasi masyarakat tentang dampak jangka panjang konsumsi makanan ultra-olahan terhadap kesehatan.
Penelitian ini menekankan bahwa reformulasi makanan ultra-olahan adalah salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas makanan dan mengurangi risiko kekurangan gizi. Reformulasi ini bisa mencakup pengurangan kandungan lemak, gula, dan garam, serta penambahan kembali mikronutrien yang hilang selama proses produksi. Hal ini menjadi tantangan bagi industri pangan, namun juga merupakan peluang untuk mengembangkan produk yang lebih sehat dan lebih sesuai dengan kebutuhan gizi konsumen modern.
Di sisi lain, strategi komunikasi dan pendidikan mengenai pentingnya keragaman pola makan juga sangat dibutuhkan. Edukasi konsumen untuk mengurangi konsumsi makanan ultra-olahan dan meningkatkan asupan makanan segar yang kaya akan nutrisi seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan sumber protein berkualitas dapat membantu mengatasi masalah kekurangan gizi.
Penelitian ini memberikan wawasan penting tentang pola makan dan konsumsi makanan ultra-olahan yang berdampak negatif terhadap asupan gizi. Sebagai seorang dosen teknologi pangan, penelitian ini menyoroti pentingnya reformulasi makanan olahan untuk meningkatkan kualitas gizi, serta mendukung keragaman pola makan yang lebih baik untuk mencegah kekurangan mikronutrien. Selain itu, edukasi konsumen tentang bahaya konsumsi makanan ultra-olahan dan pentingnya keragaman makanan perlu ditingkatkan, guna memastikan masyarakat memiliki diet yang lebih seimbang dan sehat.
Dalam pendidikan teknologi pangan, hasil ini bisa digunakan sebagai studi kasus yang baik untuk menunjukkan bagaimana inovasi dalam reformulasi makanan dan komunikasi perubahan perilaku dapat berkontribusi pada peningkatan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.