Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Sebagai seorang dosen Teknologi Pangan, merupakan wawasan yang penting mengenai keamanan penggunaan aspartam sebagai pemanis buatan, khususnya dalam konteks efek dosis tinggi pada fungsi ginjal. Aspartam, sebagai salah satu pemanis buatan yang paling banyak digunakan, sering kali menjadi bahan perdebatan terkait potensi dampak kesehatannya, khususnya pada organ ginjal dan reaksi stres oksidatif yang mungkin ditimbulkan. Penelitian ini secara khusus mengeksplorasi apakah dosis maksimum aspartam yang diizinkan untuk konsumsi manusia memengaruhi kesehatan ginjal atau meningkatkan stres oksidatif.
Penelitian ini menggunakan model tikus untuk menilai efek aspartam dengan metode yang cermat. Tikus ICR dibagi ke dalam beberapa kelompok: kelompok kontrol (CTL), kelompok yang menerima aspartam pada dosis 40 mg/kg/hari (ASP), kelompok dengan diet kekurangan folat (FD), dan kelompok dengan diet kekurangan folat serta aspartam (FD + ASP). Penambahan diet kekurangan folat dimaksudkan untuk meniru metabolisme aspartam pada manusia. Selama delapan minggu, tikus-tikus ini diberikan perlakuan yang berbeda, dan kemudian dilakukan analisis untuk mengevaluasi efek pada ginjal melalui beberapa parameter.
Hasil dari penelitian ini sangat menarik dan memberikan kontribusi signifikan pada pemahaman kita tentang keamanan aspartam. Secara keseluruhan, hasil menunjukkan bahwa dosis maksimum aspartam yang diizinkan tidak memiliki dampak signifikan pada fungsi ginjal. Kadar kreatinin serum dan nitrogen urea darah, yang merupakan indikator penting fungsi ginjal, tidak menunjukkan perbedaan antara kelompok-kelompok perlakuan. Selain itu, tidak ditemukan perubahan histologis pada ginjal di semua kelompok, yang menandakan bahwa aspartam tidak menyebabkan kerusakan jaringan ginjal.
Lebih lanjut, analisis stres oksidatif yang dilakukan melalui ekspresi superoksida dismutase dan 4-hidroksi-2-nonenal juga menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara kelompok perlakuan. Superoksida dismutase adalah enzim penting yang melawan stres oksidatif, sementara 4-hidroksi-2-nonenal merupakan produk dari lipid peroksidasi yang sering diukur untuk menilai kerusakan oksidatif. Hasil ini menunjukkan bahwa aspartam tidak meningkatkan stres oksidatif secara signifikan pada ginjal tikus dalam dosis yang diuji.
Temuan ini memberikan jaminan tambahan bahwa aspartam, pada dosis maksimum yang diizinkan untuk konsumsi manusia, tidak memiliki efek merugikan pada fungsi ginjal atau menyebabkan stres oksidatif yang berlebihan. Penelitian ini mendukung kesimpulan bahwa aspartam, bila dikonsumsi dalam batasan yang ditetapkan, tidak memberikan risiko kesehatan yang signifikan terhadap ginjal. Hal ini penting bagi produsen makanan dan minuman serta konsumen yang mungkin memiliki kekhawatiran tentang penggunaan pemanis buatan dalam diet mereka.
Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan keamanan aspartam pada dosis yang diizinkan dan menambah pemahaman kita mengenai risiko kesehatan yang terkait dengan pemanis buatan. Dengan adanya data yang menunjukkan tidak adanya efek merugikan pada fungsi ginjal dan stres oksidatif, konsumen dapat merasa lebih percaya diri dalam menggunakan produk yang mengandung aspartam. Penelitian ini juga membuka jalan bagi studi lebih lanjut untuk terus memantau dan memastikan keamanan berbagai bahan tambahan pangan.