Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Kebutuhan gizi pada individu berusia lanjut, khususnya mereka yang berusia 65–75 tahun, memerlukan perhatian khusus karena faktor-faktor seperti penurunan fungsi tubuh, perubahan metabolisme, dan meningkatnya risiko kekurangan gizi. Penelitian ini menyoroti pentingnya rasio protein terhadap non-protein (P) dalam pola makan, serta dampaknya terhadap asupan komponen makanan dan kecukupan gizi di kalangan lansia. Fenomena yang dikenal sebagai “Protein Leverage” menunjukkan bahwa pola makan dengan proporsi energi rendah dari protein cenderung mendorong konsumsi energi non-protein yang berlebih, yang dapat berkontribusi pada ketidakseimbangan nutrisi.
Studi ini menganalisis data dari 113 peserta dalam Studi Nutrisi untuk Hidup Sehat (NHL) dengan desain lintas seksi untuk mengevaluasi asupan gizi selama tujuh hari berdasarkan catatan makanan yang ditimbang. Asupan ini kemudian dibandingkan dengan Nilai Referensi Gizi untuk Australia dan Selandia Baru, Panduan Australia untuk Makan Sehat, Pedoman Diet Australia, dan Pedoman Bebas Gula Organisasi Kesehatan Dunia. Analisis ini memberikan gambaran tentang bagaimana rasio Pmempengaruhi asupan gizi dan komponen makanan di antara individu lanjut usia dengan tingkat sosial ekonomi yang relatif tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya ketidakseimbangan nutrisi yang substansial pada kelompok ini. Sebanyak 89% peserta memiliki asupan susu dan alternatif yang kurang dari rekomendasi, 89% kurang dalam konsumsi gandum utuh, sementara 100% peserta melebihi rekomendasi untuk makanan diskresioner dan 92% melebihi rekomendasi untuk lemak jenuh. Temuan ini mengindikasikan adanya pola makan yang tidak seimbang, dengan ketergantungan tinggi pada makanan diskresioner yang sering kali tinggi lemak dan gula, namun rendah pada komponen makanan penting seperti gandum utuh dan produk susu.
Lebih lanjut, analisis regresi linier yang disesuaikan menunjukkan bahwa peningkatan 1% dalam rasio Pdikaitkan dengan asupan energi total yang lebih rendah, serta penurunan asupan lemak jenuh, gula bebas, dan makanan diskresioner. Di sisi lain, peningkatan rasio ini juga dikaitkan dengan peningkatan asupan vitamin B12, seng (Zn), daging dan alternatif, daging merah, unggas, serta gandum utuh (semua dengan P < 0,05). Ini menunjukkan bahwa peningkatan proporsi protein dalam diet dapat membantu mengurangi konsumsi komponen makanan yang kurang sehat dan meningkatkan asupan nutrisi esensial.
Dari perspektif teknologi pangan, penelitian ini menyoroti kebutuhan untuk mengembangkan strategi diet yang lebih seimbang bagi lansia, terutama mereka yang berada dalam kelompok sosial ekonomi lebih tinggi namun tetap menghadapi risiko kekurangan gizi. Salah satu pendekatan yang mungkin adalah meningkatkan kesadaran dan pendidikan gizi tentang pentingnya keseimbangan protein dan sumber-sumber pangan yang berkualitas, sambil mengurangi ketergantungan pada makanan diskresioner yang tidak sehat.
Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa rasio Pyang lebih tinggi dapat menjadi indikator penting untuk menilai kualitas diet dan potensi risiko ketidakseimbangan gizi pada populasi lansia. Oleh karena itu, penting bagi ahli gizi dan profesional kesehatan untuk mempertimbangkan penggunaan indikator ini dalam perencanaan diet dan penilaian kesehatan.
Secara keseluruhan, studi ini mengungkapkan adanya ketidakcukupan nutrisi yang signifikan pada lansia, meskipun mereka berasal dari kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi. Temuan ini menegaskan pentingnya pola makan yang seimbang dengan proporsi protein yang tepat untuk mendukung kesehatan optimal pada usia lanjut, serta perlunya upaya berkelanjutan dalam pendidikan gizi dan intervensi diet yang tepat.