Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Dalam menghadapi tantangan global untuk mencari sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, pengembangan teknologi yang memanfaatkan limbah pertanian sebagai bahan bakar terbarukan menjadi salah satu solusi inovatif yang menjanjikan. Penelitian terbaru mengenai pemanfaatan residu pertanian sekunder, seperti limbah dari proses pemanggangan kopi, produksi gula, dan penggilingan padi, melalui teknologi karbonisasi hidrotermal (HTC) merupakan langkah maju yang signifikan. Teknologi ini tidak hanya berpotensi mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, tetapi juga mendukung ekonomi sirkular dengan mengubah limbah menjadi biofuel padat dan produk cair yang mengandung gula.
Sebagai seorang Dosen Teknologi Pangan, saya melihat penelitian ini memiliki implikasi besar bagi pengelolaan limbah industri pangan, khususnya dalam menghasilkan bioenergi dari sumber yang sebelumnya dianggap tidak bernilai. Penggunaan limbah pertanian seperti kulit perak kopi, ampas tebu, dan sekam padi tidak hanya mengurangi volume limbah yang harus dikelola, tetapi juga menciptakan peluang baru untuk memanfaatkan energi yang ada di dalamnya. Proses HTC mampu memecah struktur lignoselulosa yang kompleks dalam limbah tersebut, menghasilkan produk padat dengan nilai kalor tinggi yang dapat digunakan sebagai biofuel padat. Ini adalah salah satu cara berkelanjutan untuk memanfaatkan limbah pertanian yang berlimpah di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Di sisi lain, produk cair yang dihasilkan dari proses HTC ini mengandung gula-gula seperti glukosa, xilosa, galaktosa, dan arabinosa, yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Penggunaan teknologi distilasi membran kontak langsung (DCMD) untuk mengkonsentrasikan produk cair ini merupakan langkah cerdas dalam memaksimalkan potensi produk. DCMD memanfaatkan panas buangan dari proses biorefineri lainnya, sehingga efisiensi energi dapat ditingkatkan. Proses ini memungkinkan gula cair yang dihasilkan menjadi lebih terkonsentrasi hingga tiga kali lipat, yang tentunya akan meningkatkan nilai komersial produk tersebut.
Peran HTC dalam meningkatkan nilai kalor dari biofuel padat yang dihasilkan juga sangat menarik untuk dicermati. Praperlakuan pada suhu yang berbeda (180°C dan 200°C) menghasilkan variasi kecil pada nilai kalor, menunjukkan fleksibilitas proses ini dalam menyesuaikan output biofuel sesuai dengan kebutuhan energi yang diinginkan. Hal ini memberikan keuntungan tambahan, di mana produk padat dapat dioptimalkan untuk berbagai aplikasi, termasuk sebagai sumber energi untuk industri atau rumah tangga.
Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan bahwa HTC dan DCMD adalah teknologi yang potensial untuk diterapkan dalam skala industri, terutama dalam konteks pengolahan limbah dari sektor pangan. Limbah yang sebelumnya hanya dianggap sebagai beban lingkungan kini dapat diubah menjadi sumber daya yang bermanfaat, baik dalam bentuk biofuel padat maupun gula cair yang bernilai tinggi. Konsep ini tidak hanya mendukung keberlanjutan energi, tetapi juga memperkuat ekonomi berbasis limbah, memberikan kontribusi besar terhadap pengurangan jejak karbon dan penggunaan energi fosil.
Kesimpulannya, inovasi dalam konversi limbah produksi makanan menjadi biofuel dan produk gula cair menawarkan prospek yang menjanjikan untuk masa depan energi terbarukan. Dengan terus berkembangnya teknologi seperti HTC dan DCMD, kita semakin mendekati era di mana limbah pertanian tidak hanya dikelola secara berkelanjutan, tetapi juga dimanfaatkan secara optimal untuk menghasilkan produk bernilai tinggi yang dapat mendukung kebutuhan energi global.