Review Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali Cilacap / UNUGHA Cilacap)
Madu merupakan salah satu produk alami yang sangat bernilai, baik dari segi gizi maupun kegunaannya dalam pengobatan tradisional. Namun, kristalisasi madu sering kali menjadi masalah bagi para peternak lebah dan konsumen. Untuk mengatasi hal ini, salah satu metode yang digunakan adalah perlakuan panas. Sebagai dosen di bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, saya melihat pentingnya pemahaman mendalam terkait bagaimana perlakuan panas memengaruhi kualitas madu, khususnya terkait kandungan hidroksimetilfurfural (HMF) dan aktivitas enzim diastase. Artikel ini membahas secara komprehensif bagaimana suhu dan durasi pemanasan memengaruhi kualitas madu dari berbagai aspek.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemanasan madu pada suhu 40°C selama 95 jam tidak menghasilkan perubahan signifikan pada kandungan HMF maupun aktivitas diastase. Hal ini berarti bahwa pada suhu tersebut, madu tetap dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama tanpa mempengaruhi kualitasnya. HMF adalah senyawa yang terbentuk selama proses pemanasan atau penyimpanan madu yang terlalu lama, dan biasanya digunakan sebagai indikator degradasi kualitas madu. Pada suhu 40°C, pembentukan HMF dapat ditekan, sehingga madu tetap aman dikonsumsi dalam waktu lama.
Namun, pemanasan pada suhu yang lebih tinggi seperti 60°C, 80°C, dan 100°C menunjukkan peningkatan kadar HMF yang signifikan, serta penurunan aktivitas enzim diastase. Enzim diastase berperan penting dalam proses pemecahan polisakarida, terutama pati, menjadi gula yang lebih sederhana. Oleh karena itu, penurunan aktivitas diastase akibat pemanasan dapat berdampak negatif pada kualitas madu. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa pada suhu 60°C selama 80 jam, kandungan HMF mencapai 40 mg/kg, sementara pada suhu 80°C dan 100°C, kandungan ini tercapai hanya dalam waktu 12,5 jam dan 6 jam.
Pemanasan pada suhu yang lebih tinggi memang efektif untuk mencegah kristalisasi madu, namun dapat menyebabkan degradasi kualitas dalam jangka panjang. Dari perspektif pengawetan madu, penelitian ini menyarankan bahwa suhu tidak boleh melebihi 60°C selama lebih dari 5 jam atau 80°C selama lebih dari 1 jam untuk memastikan kualitas madu tetap terjaga. Ini penting terutama bagi industri yang memerlukan pemrosesan madu dalam skala besar, di mana suhu dan waktu pemanasan harus dioptimalkan untuk mencegah kerusakan enzim dan peningkatan kadar HMF.
Selain itu, penelitian ini juga membahas tentang energi aktivasi (Ea) dalam pembentukan HMF, yang dihitung sebesar 83,07, 91,79, dan 89,57 kJ/mol untuk tiga sampel yang diuji. Nilai energi aktivasi ini penting karena memberikan gambaran tentang seberapa besar energi yang dibutuhkan untuk memulai proses pembentukan HMF. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa pengontrolan suhu sangat krusial dalam menjaga kualitas madu selama pemanasan.
Aplikasi praktis dari penelitian ini tidak hanya terbatas pada pencegahan kristalisasi madu, tetapi juga relevan untuk menjaga kualitas madu selama penyimpanan dan distribusi di pasar. Pemahaman ini penting terutama bagi peternak lebah dan produsen madu komersial yang ingin memastikan produk mereka tetap berkualitas tinggi. Dengan memanfaatkan teknologi pemanasan yang tepat, diharapkan kualitas madu dapat terjaga sambil tetap mencegah kristalisasi yang sering kali mengurangi nilai pasar madu.
Kesimpulannya, penelitian ini memberikan panduan yang sangat berharga mengenai pengendalian suhu selama proses pemanasan madu. Dalam konteks energi terbarukan, pengelolaan energi yang efisien dalam proses ini juga penting untuk dipertimbangkan. Secara keseluruhan, dengan pemahaman yang lebih baik mengenai efek suhu terhadap madu, kita dapat mengoptimalkan proses pengolahan dan penyimpanan madu untuk memastikan kualitas yang terbaik bagi konsumen.