Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali Cilacap / UNUGHA Cilacap)
Dalam era di mana kebutuhan akan pengujian cepat, murah, dan akurat semakin meningkat—baik dalam bidang kesehatan, keamanan pangan, hingga pemantauan lingkungan—peran teknologi sensor menjadi semakin krusial. Salah satu pendekatan yang tengah naik daun adalah pengembangan sensor elektrokimia non-enzimatik, yang dalam artikel ini dikaji secara komprehensif sebagai alternatif masa depan bagi perangkat point-of-care (POC) testing.
Selama ini, sensor elektrokimia berbasis enzim memang mendominasi karena sensitivitas dan selektivitasnya yang tinggi. Namun, sensor jenis ini punya banyak kelemahan jika diterapkan di dunia nyata—mulai dari kestabilan yang buruk, biaya reagen yang mahal, metode fabrikasi yang kompleks, hingga syarat operasional yang spesifik. Inilah mengapa sensor non-enzimatik mulai dilirik: lebih tahan lama, biaya produksi lebih rendah, dan berpotensi dikembangkan secara masif untuk berbagai aplikasi.
Dari perspektif Food Science and Technology, pengembangan sensor non-enzimatik ini sangat relevan untuk mendukung sistem keamanan pangan yang lebih tanggap dan efisien. Misalnya, untuk mendeteksi kontaminan mikroba, logam berat, atau residu pestisida langsung di lapangan atau di lini produksi tanpa perlu alat laboratorium yang rumit. Namun tantangannya tidak kecil. Meski secara ilmiah sudah ada banyak kemajuan—berkat kemunculan material nano dan teknik molecular imprinting untuk meningkatkan selektivitas—teknologi ini masih menghadapi hambatan besar dalam hal validasi, adaptasi untuk berbagai jenis sampel, serta kesiapan menuju produksi massal.
Artikel ini mengulas bagaimana strategi fabrikasi sensor—baik dengan pendekatan konvensional maupun teknologi baru—harus selalu mempertimbangkan aspek performa analitik dan efisiensi biaya. Ini penting, karena sebuah sensor secanggih apapun tidak akan berguna jika sulit diproduksi dan mahal. Penulis juga menyoroti peran molecularly imprinted polymers (MIPs) sebagai solusi menarik untuk meningkatkan spesifisitas deteksi, terutama dalam konteks sampel pangan yang kompleks dan beragam.
Peluang dan Tantangan Penerapan di Indonesia
Peluangnya cukup besar. Indonesia adalah negara agraris dengan sistem rantai pasok pangan yang panjang dan heterogen—mulai dari petani kecil, industri rumahan, hingga perusahaan besar. Keamanan pangan masih menjadi isu utama, mulai dari kontaminasi mikroba hingga penggunaan bahan tambahan berbahaya. Teknologi sensor non-enzimatik berpotensi menjadi solusi praktis untuk melakukan deteksi cepat langsung di titik kritis rantai pasok, tanpa harus mengandalkan laboratorium sentral yang terbatas jumlahnya.
Selain itu, pengembangan sensor ini sejalan dengan arah transformasi digital dan industri 4.0 di sektor pangan. Sensor non-enzimatik bisa diintegrasikan dalam sistem smart packaging, automated sorting, maupun real-time quality monitoring dalam industri pengolahan makanan. Bahkan, penggunaannya bisa diperluas untuk pemantauan kualitas air, bahan baku, dan produk akhir.
Namun, tantangan di Indonesia juga tidak ringan. Salah satunya adalah keterbatasan infrastruktur litbang dan manufaktur lokal untuk memproduksi sensor berbasis nanoteknologi secara massal. Biaya awal pengembangan bisa tinggi, dan belum banyak kolaborasi antara akademisi, pelaku industri, dan pemerintah dalam mengarusutamakan teknologi ini. Regulasi juga perlu dipersiapkan untuk memastikan validitas data dari sensor non-enzimatik, terutama jika digunakan untuk keperluan inspeksi atau pengambilan keputusan hukum terkait keamanan pangan.
Sebagai dosen di bidang Teknologi Pangan, saya melihat bahwa pengembangan sensor non-enzimatik yang tangguh dan hemat biaya adalah sebuah langkah strategis untuk memperkuat sistem pengawasan mutu dan keamanan pangan yang lebih modern dan responsif. Teknologi ini dapat diintegrasikan dalam proses produksi industri pangan sebagai alat monitoring real-time, maupun sebagai portable device untuk inspeksi cepat di pasar tradisional, rumah potong hewan, atau pelabuhan impor-ekspor.
Meski belum sepenuhnya siap dikomersialisasikan, arah pengembangan teknologi ini sangat menjanjikan. Dengan kolaborasi lintas sektor, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat kita akan melihat kehadiran smart sensors non-enzimatik buatan dalam negeri yang bisa digunakan tidak hanya untuk diagnosis medis, tetapi juga untuk menjamin keamanan pangan dari hulu ke hilir. Sebuah langkah penting menuju sistem pangan yang lebih cerdas, berkelanjutan, dan aman bagi masyarakat Indonesia.