Agroeduwisata Kedungweru: Masa Depan yang Bertumbuh dari Desa

Oleh: Johaeni Rokhman (Sekretaris Desa Kedungweru Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah)

Di tengah derasnya arus urbanisasi dan perubahan iklim, desa kerap dipandang sebagai cerita masa lalu, tempat yang tertinggal, lambat berkembang, dan bahkan terancam punah. Padahal, justru dari desa, kita bisa memulai ulang banyak hal mendasar seperti cara pandang tentang produksi pangan, pendidikan, hingga keberlanjutan hidup.

Salah satu contoh kecil namun menjanjikan datang dari Desa Kedungweru, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Di sini, warga mulai merintis pendekatan baru dalam bertani—bukan sekadar soal hasil panen, tetapi juga tentang ruang belajar dan wisata yang bersumber dari kehidupan alami. Inilah yang mereka sebut sebagai agroeduwisata kedungweru.

Bertani Sambil Belajar

Agroeduwisata bukan istilah rumit. Sesederhana mengajak anak-anak, pelajar, hingga wisatawan, untuk merasakan langsung kehidupan desa: menanam padi, memanen sayur, memberi pakan ternak, memancing ikan, atau sekadar mengenali tanaman obat dan rempah-rempah lokal. Aktivitas yang bagi warga terasa biasa, justru menjadi pengalaman luar biasa bagi pendatang.

Kedungweru, dengan kekayaan lahan sawah, kolam ikan, kebun campuran, dan peternakan rumahan, kini mulai membuka diri. Lahan-lahan produksi perlahan disulap menjadi ruang edukatif. Para petani dan warga bukan sekadar menyambut tamu, tapi juga menjadi fasilitator pembelajaran hidup.

Yang menarik, semua ini tidak mengganggu fungsi asli lahannya. Padi tetap ditanam, ikan tetap dipelihara, ternak tetap diberi pakan. Hanya saja, semua itu kini juga menjadi bagian dari narasi edukatif dan pengalaman wisata yang otentik.

Dari Produksi ke Regenerasi

Salah satu tantangan besar desa saat ini adalah regenerasi petani. Banyak anak muda enggan bertani, bukan karena mereka tak mencintai desa, tapi karena tidak melihat masa depan di sana.

Agroeduwisata membuka kemungkinan baru: bahwa bertani bukan pekerjaan “kelas dua”, tapi profesi yang cerdas, berjejaring, dan bernilai tambah. Bahwa desa bukan tempat yang ditinggalkan, melainkan tempat untuk kembali—dengan peran baru, semangat baru.

Selain itu, agroeduwisata memberi ruang untuk merawat pengetahuan lokal yang nyaris terlupakan. Pengetahuan tentang musim tanam, jenis bibit lokal, hingga pola tanam tumpangsari bisa menjadi bagian dari “kurikulum hidup”—pelajaran yang tak diajarkan di ruang kelas formal, tetapi tumbuh langsung dari tanah.

Tantangan Tak Kecil, Tapi Bisa Diatasi

Tentu saja, membangun wisata berbasis komunitas bukan perkara mudah. Dibutuhkan penyesuaian: mulai dari cara menyambut tamu, menata fasilitas sederhana, hingga merancang narasi yang ramah lintas usia. Terlebih, tidak semua desa punya akses ke pasar wisata atau dukungan promosi yang memadai.

Namun Kedungweru punya satu kekuatan utama: solidaritas sosial. Gotong royong, kerja kolektif, dan rasa memiliki antarwarga menjadi modal yang tak tergantikan. Pendekatan berbasis warga inilah yang justru membuat agroeduwisata terasa jujur, menyentuh, dan membumi.

Masa Depan yang Bertumbuh dari Desa

Kedungweru sedang menunjukkan kepada kita bahwa desa tidak harus berubah menjadi kota untuk berkembang. Justru dengan merawat yang sudah ada—pertanian, peternakan, perikanan, dan kebun—desa bisa menjadi pusat edukasi kehidupan yang berkelanjutan. Agroeduwisata bukan sekadar tren baru, tapi tawaran masa depan. Tempat di mana produksi pangan, pelestarian lingkungan, dan pendidikan bisa tumbuh dari sumber yang sama: tanah desa itu sendiri.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2025.

Written by 

Teknologia managed by CV Teknologia (Teknologia Group) is a publisher of books and scientific journals with both national and international reach.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *