Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali Cilacap / UNUGHA Cilacap)
Di tengah berkembangnya dunia sains dan teknologi, nanomaterial kini menjadi tulang punggung dari berbagai inovasi lintas sektor. Salah satu yang semakin mendapat perhatian adalah doped magnetic nanoparticles (DMNPs), atau nanopartikel magnetik terdispersi—material nano dengan sifat magnetik yang dimodifikasi melalui proses doping (penambahan unsur tertentu). Material ini membuka peluang revolusioner, dari bidang kesehatan hingga ketahanan pangan.
Apa yang membuat DMNPs begitu istimewa? Kuncinya terletak pada kemampuannya untuk dimodifikasi secara presisi. Melalui teknik sintesis seperti chemical precipitation, co-precipitation, thermal decomposition, hingga metode sol-gel, para peneliti dapat menciptakan DMNPs dengan berbagai ukuran, bentuk, dan stabilitas kimia yang sangat dikontrol.
Lebih dari sekadar material kecil, DMNPs adalah pionir teknologi yang mampu berperan dalam bidang-bidang strategis, mulai dari agen kontras MRI di dunia medis, sistem pengangkut obat, hingga aplikasi penting dalam remediasi lingkungan seperti penyaring logam berat dalam air. Dalam dunia pangan, potensi mereka sebagai sensor cerdas untuk mendeteksi kontaminan mikrobiologis maupun kimiawi menjadi sebuah harapan besar bagi masa depan keamanan pangan global.
Fungsi Ganda: Stabilitas dan Keamanan
Salah satu tantangan utama dalam pengembangan nanomaterial adalah bagaimana menjaga stabilitas dan fungsionalitasnya dalam lingkungan nyata. Di sinilah peran proses doping menjadi penting. Dengan menambahkan unsur seperti logam transisi (misal: kobalt, nikel), non-logam (seperti nitrogen, boron), atau unsur rare-earth (misal: gadolinium, europium), karakteristik magnetik dan kimia DMNPs dapat ditingkatkan secara signifikan.
Namun, tak cukup hanya dengan memodifikasi inti nanopartikel. Permukaan DMNPs juga harus disesuaikan—melalui proses surface functionalization atau ligand exchange—agar dapat bekerja secara selektif, efisien, dan aman di dalam tubuh manusia maupun sistem pangan.
Aplikasi dalam Sistem Pangan: Bukan Lagi Ilusi
Banyak yang mengira bahwa teknologi nano hanya milik dunia medis. Padahal, ilmu dan teknologi pangan merupakan lahan subur untuk aplikasi DMNPs. Bayangkan sensor magnetik nano yang mampu mendeteksi bakteri patogen seperti Salmonella atau Listeria dalam hitungan menit, atau sistem penyerap berbasis DMNPs yang bisa mengikat dan menghilangkan residu pestisida atau logam berat dari bahan pangan.
Selain itu, teknologi ini juga bisa digunakan dalam proses pemurnian enzim, peningkatan bioavailabilitas zat gizi mikro, dan bahkan deteksi cepat kontaminan di rantai pasok pangan. Semua itu bukan lagi khayalan, melainkan peluang nyata yang sedang dikembangkan di berbagai pusat riset dunia.
Peluang dan Tantangan di Indonesia
Sebagai negara agraris dengan konsumsi pangan yang tinggi, Indonesia memiliki kebutuhan besar akan teknologi deteksi pangan yang cepat, murah, dan akurat. DMNPs berpotensi besar untuk diterapkan dalam sistem monitoring mutu dan keamanan pangan—terutama dalam industri pengolahan susu, seafood, dan sayur-sayuran segar.
Namun, realisasi teknologi ini masih menghadapi berbagai tantangan:
- Skalabilitas dan biaya produksi nanomaterial yang masih tinggi,
- Ketiadaan regulasi spesifik untuk penggunaan nanomaterial dalam pangan,
- Kurangnya fasilitas karakterisasi nanoteknologi di banyak lembaga penelitian daerah, serta
- Minimnya kolaborasi industri dan akademisi dalam mengembangkan prototipe teknologi yang bisa diindustrialisasi.
Di sisi lain, peluang Indonesia terletak pada sumber daya alamnya: besi oksida alami, biomassa pertanian, dan mineral lokal dapat diolah menjadi bahan dasar nanomaterial dengan pendekatan yang lebih murah dan berkelanjutan.
Menatap Masa Depan: Regulasi dan Riset yang Berpihak pada Inovasi
Kini saatnya Indonesia berinvestasi lebih serius dalam riset aplikasi nanoteknologi untuk pangan dan lingkungan. Dukungan regulasi berbasis sains, insentif untuk hilirisasi riset, serta kemitraan lintas sektor harus menjadi prioritas. Pengembangan DMNPs bukan hanya soal teknologi tinggi, tapi juga tentang membangun sistem pangan yang lebih aman, cerdas, dan tangguh menghadapi tantangan masa depan. Kita tak perlu menunggu negara lain untuk bergerak lebih dulu. Dengan potensi akademisi, peneliti muda, dan kearifan lokal yang kita miliki, Indonesia bisa menjadi pionir Asia dalam pengembangan nanoteknologi untuk keamanan pangan dan lingkungan.