Daging Nabati dan Teknologi Simulasi: Masa Depan Pangan Berkelanjutan Dimulai dari Laboratorium

Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali Cilacap / UNUGHA Cilacap)

Ketika dunia bergulat dengan krisis iklim, degradasi lingkungan, dan isu etika peternakan, produk daging nabati atau plant-based meat analogs (PBMAs) muncul sebagai salah satu solusi paling menjanjikan. Produk ini dirancang untuk meniru sensasi makan daging hewani—mulai dari tekstur berserat, rasa gurih, hingga kelembutan saat digigit—namun berbahan dasar protein nabati seperti kedelai, kacang polong, atau gandum.

Namun, membuat “daging” dari tumbuhan bukan pekerjaan sederhana. Secara struktural dan fungsional, protein tumbuhan sangat berbeda dari protein hewani. Tantangan utama adalah mereplikasi tekstur berserat khas daging—yang biasanya terbentuk dari susunan kompleks serat otot dan jaringan lemak. Inilah medan tempur utama bagi para ahli pangan dan insinyur teknologi makanan di seluruh dunia.

Simulasi Komputasi: Jalan Pintas ke Rasa dan Tekstur Otentik

Beruntung, kemajuan di bidang komputasi memberikan alat baru yang sangat menjanjikan. Salah satunya adalah finite element analysis (FEA), teknik simulasi numerik yang biasanya digunakan di dunia teknik mesin dan struktur bangunan. Kini, FEA mulai diadopsi dalam teknologi pangan, khususnya untuk memodelkan perilaku termal, mekanik, dan transfer massa selama proses pembuatan daging nabati.

FEA memungkinkan peneliti untuk mensimulasikan bagaimana bahan nabati berperilaku selama extrusion cooking, pengeringan, hingga pemanasan saat dikonsumsi. Dengan bantuan model reologi lanjutan dan simulasi multiphysics, para ilmuwan dapat memprediksi bagaimana struktur protein akan berubah, mengeras, atau membentuk serat layaknya daging sapi. Teknologi ini bukan hanya mempercepat riset, tapi juga mengurangi kebutuhan uji coba fisik yang mahal dan memakan waktu.

Teknologi Proses: Dari Extruder hingga Printer 3D

Ada tiga teknologi kunci yang menjadi andalan dalam menciptakan tekstur daging nabati:

  1. High-moisture extrusion – Teknik ini menggunakan kelembapan tinggi dan tekanan panas untuk menyusun ulang protein menjadi serat panjang seperti otot.
  2. Shear cell technology – Dengan menciptakan gaya geser tinggi, protein bisa dibentuk menjadi lapisan-lapisan seperti serat daging.
  3. 3D printing berbasis ekstrusi – Memungkinkan desain tekstur yang sangat presisi, termasuk penciptaan pola lemak dan serat otot buatan secara simultan.

Dengan FEA, para ilmuwan dapat menyesuaikan parameter suhu, tekanan, kecepatan aliran, hingga rasio air dalam adonan untuk menghasilkan tekstur, rasa, dan kenampakan visual yang makin menyerupai daging asli.

Bukan Sekadar Substitusi, tapi Evolusi Pangan

PBMA bukan hanya soal “mengganti” daging. Ini adalah tentang menciptakan pengalaman makan baru yang sehat, etis, dan ramah lingkungan. Produk daging nabati dengan kualitas tekstur dan rasa yang baik berpotensi mengurangi ketergantungan pada peternakan intensif, yang selama ini menyumbang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca dan penggunaan air berlebih.

Konsumen kini tak hanya mencari protein, tapi juga cerita di balik makanan mereka. Bagaimana ia diproduksi? Apakah etis? Apakah jejak karbonnya rendah? PBMA yang dikembangkan berbasis teknologi simulasi memberikan jawaban konkret atas semua pertanyaan tersebut.

Peluang dan Tantangan di Indonesia

Di tengah meningkatnya kesadaran gaya hidup sehat dan keberlanjutan, Indonesia memiliki peluang besar menjadi pemain penting dalam pengembangan PBMA. Sumber protein nabati seperti kedelai lokal, tempe, kacang-kacangan, bahkan limbah pangan seperti ampas tahu, bisa dijadikan bahan dasar produk daging nabati inovatif.

Namun, tantangannya tidak kecil:

  • Keterbatasan infrastruktur simulasi komputasi seperti perangkat FEA di kampus dan pusat riset.
  • Kurangnya sinergi antara disiplin ilmu seperti ilmu pangan, teknik mesin, dan fisika komputasi.
  • Rendahnya investasi industri pangan dalam R&D berbasis teknologi tinggi, karena masih fokus pada produk cepat saji konvensional.
  • Tingkat penerimaan konsumen terhadap PBMA masih rendah karena persepsi “tidak seenak daging asli” atau “produk mahal”.

Padahal, jika dikembangkan secara serius, PBMA berbasis teknologi simulasi dapat diproduksi lebih konsisten, scalable, dan efisien, bahkan bisa menyasar pasar ekspor halal dan vegan global.

Inovasi yang Perlu Dukungan Nyata

Indonesia tidak kekurangan talenta. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berinvestasi pada teknologi pangan generasi baru. Kurikulum pendidikan tinggi perlu mulai mengintegrasikan teknologi simulasi dalam studi teknologi pangan. Pemerintah dan pelaku industri juga perlu mendorong program riset kolaboratif lintas disiplin, menciptakan ekosistem inovasi yang mendukung PBMA. Kita sedang berada di titik balik sejarah pangan. Di mana daging tak selalu harus berasal dari hewan, dan teknologi bisa menjadi jembatan menuju masa depan pangan yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Written by 

Teknologia managed by CV Teknologia (Teknologia Group) is a publisher of books and scientific journals with both national and international reach.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *