Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Bayangkan sebuah rumah kaca di pedesaan. Di dalamnya, tanaman tumbuh subur dengan cahaya alami yang cukup, sementara di atas atapnya, panel surya tembus cahaya memanen energi matahari. Listrik yang dihasilkan disimpan dalam baterai dan digunakan kembali untuk sistem pengaturan suhu, irigasi otomatis, hingga penerangan malam hari. Ini bukan fiksi ilmiah, tapi masa depan pertanian modern berbasis energi terbarukan yang kini semakin dekat dengan kenyataan.
Sebuah studi mutakhir menelaah kelayakan penerapan teknologi semi-transparent photovoltaic (STPV) yang dipadukan dengan battery energy storage system (BESS) dalam sistem rumah kaca. Fokus utama studi ini adalah menjaga keseimbangan antara dua kebutuhan utama: fotosintesis optimal untuk pertumbuhan tanaman dan maksimalisasi nilai ekonomi melalui pembangkitan dan penyimpanan energi surya.
Menggunakan algoritma cerdas bernama Enhanced Firefly Algorithm (FA), penelitian ini mengoptimalkan dua variabel penting: proporsi atap kaca yang ditutupi panel surya (PV cover ratio) dan kapasitas sistem baterai. Yang menarik, kebutuhan cahaya harian tanaman—yang dikenal sebagai Daily Light Integral (DLI)—digunakan sebagai batasan utama agar fotosintesis tetap optimal meskipun sebagian cahaya diserap oleh panel STPV.
Hasil yang Menarik: Menyesuaikan Energi dengan Tanaman
Simulasi jangka panjang selama 25 tahun menunjukkan bahwa jenis tanaman memainkan peran krusial dalam menentukan desain sistem. Tanaman dengan kebutuhan cahaya tinggi membutuhkan proporsi atap transparan lebih besar, sehingga kapasitas panel surya dan baterainya pun harus disesuaikan. Sebaliknya, tanaman ber-DLI rendah memungkinkan penggunaan atap STPV lebih luas, memberikan nilai ekonomi lebih tinggi.
Bahkan, untuk skenario tanaman ber-DLI rendah, nilai bersih kini (Net Present Value atau NPV) tertinggi bisa mencapai USD 1,331,340, dengan kapasitas baterai optimal sebesar 216 kW. Meski seluruh skenario diawali dengan arus kas negatif di awal proyek (karena biaya investasi tinggi), potensi keuntungannya sangat menjanjikan dalam jangka panjang.
Lebih dari sekadar hasil teknis, studi ini menunjukkan bahwa transisi energi dan pertanian cerdas bisa berjalan berdampingan: kita bisa memanen energi dan pangan dari lahan yang sama, tanpa harus memilih salah satunya.
Peluang dan Tantangan di Indonesia
Dengan iklim tropis dan sinar matahari berlimpah sepanjang tahun, Indonesia sebetulnya memiliki peluang emas untuk menjadi pelopor sistem AgriPV cerdas seperti ini. Kombinasi antara greenhouse modern, panel surya transparan, dan sistem penyimpanan energi bisa menjadi game-changer bagi pertanian nasional, khususnya di daerah dengan akses listrik terbatas.
Bayangkan rumah kaca di dataran tinggi Dieng, Lembang, atau Malino, menghasilkan sayuran hortikultura sekaligus listrik untuk desa sekitarnya. Atau bayangkan kawasan pertanian di NTT atau Papua yang kini belum teraliri listrik, dapat mandiri secara energi melalui konsep ini. Selain mendukung ketahanan pangan, solusi ini juga memperkuat ketahanan energi pedesaan.
Namun, tantangannya tentu tidak sedikit. Pertama, biaya awal investasi masih tinggi, terutama untuk teknologi STPV dan BESS. Kedua, belum banyak petani atau koperasi yang memiliki literasi teknologi cukup untuk mengelola sistem semacam ini. Ketiga, dukungan kebijakan dan insentif fiskal masih minim untuk proyek berbasis dual-output seperti ini—yang menghasilkan pangan dan energi sekaligus.
Selain itu, riset lokal terkait kebutuhan DLI tanaman tropis dan transmisi cahaya STPV di iklim Indonesia juga masih sangat terbatas. Tanpa data yang akurat dan sistematis, optimalisasi seperti yang dilakukan dalam studi ini sulit diterapkan secara presisi di lapangan.
Pertanian Masa Depan Harus “Terbarukan”
Integrasi STPV dan BESS dalam greenhouse bukan sekadar inovasi teknologi, tapi cerminan paradigma baru: pertanian yang berdaya energi, berkelanjutan, dan adaptif terhadap perubahan iklim. Di tengah krisis energi dan tantangan ketahanan pangan global, solusi seperti ini memberi harapan bahwa transformasi sistem pangan dan energi bisa berjalan bersama-sama.
Untuk itu, pemerintah perlu mulai serius mengembangkan kebijakan insentif berbasis agroenergi, membangun pilot project AgriPV cerdas di beberapa wilayah, serta memperkuat sinergi antara Kementerian Pertanian, ESDM, dan BRIN dalam riset lintas sektor. Akhirnya, pertanian tak hanya harus menghasilkan lebih banyak, tetapi juga lebih bijak dalam memanfaatkan sumber daya. Dan di era energi baru terbarukan, rumah kaca surya mungkin adalah kunci menuju pertanian masa depan Indonesia.