Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali Cilacap / UNUGHA Cilacap)
Istilah functional foods atau pangan fungsional mungkin masih asing bagi sebagian masyarakat Indonesia. Namun, diam-diam, pangan jenis ini sedang naik daun di berbagai belahan dunia sebagai salah satu jawaban atas meningkatnya kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat.
Fenomena ini bukan hal baru. Sejak tahun 1980-an, Jepang memperkenalkan konsep pangan fungsional sebagai foods for specified health use (FOSHU), yang kemudian mendapat pengakuan global pada dekade 1990-an. Kini, pangan fungsional telah menjadi arus utama dalam inovasi pangan modern, terutama karena kemampuannya memberikan manfaat kesehatan tambahan selain fungsi gizi dasar.
Apa Itu Pangan Fungsional?
Secara sederhana, pangan fungsional adalah produk pangan yang telah diperkaya dengan komponen bioaktif—baik berupa nutrien, serat pangan, fitokimia, probiotik, atau zat bioaktif lainnya—dengan konsentrasi yang aman namun cukup tinggi untuk memberikan manfaat kesehatan. Contohnya termasuk yogurt dengan probiotik yang mendukung pencernaan, minuman dengan tambahan kolagen untuk kesehatan kulit, atau biskuit dengan fitosterol untuk menurunkan kolesterol.
Namun, keunggulan ini tidak hanya tergantung pada bahan, melainkan juga pada cara pengolahan. Dalam proses produksinya, pangan fungsional memerlukan penanganan khusus agar komponen aktifnya tetap stabil, bioaktif, dan tersedia secara hayati saat dikonsumsi tubuh (bioavailability).
Teknologi Non-Thermal: Mengolah Tanpa Merusak
Salah satu sorotan utama dalam pengembangan pangan fungsional modern adalah pemanfaatan teknologi non-termal. Teknologi ini menghindari pemanasan tinggi yang biasa digunakan dalam pengolahan pangan konvensional, yang berisiko merusak zat aktif atau mereduksi kualitas sensorik produk.
Buku terbaru yang saya ulas—sebuah kompilasi dari 16 artikel ilmiah mutakhir—menjelaskan secara komprehensif berbagai teknik non-termal yang kini mulai diterapkan, antara lain:
- High Hydrostatic Pressure (HHP)
- Ultrasound
- Cold Plasma
- Pulsed Electric Field
- Ozonisasi
- Vacuum Impregnation
- High-Voltage Electrical Discharge
Teknik-teknik ini memungkinkan pengolahan pangan tanpa merusak struktur zat aktif seperti protein, polifenol, vitamin, bahkan senyawa aromatik dan enzim. Hasil akhirnya adalah produk pangan dengan kualitas tinggi, umur simpan panjang, dan manfaat kesehatan tetap terjaga.
Tiga Pilar Penting: Bioaktivitas, Bioaksesibilitas, dan Bioavailabilitas
Buku ini juga menggarisbawahi tiga aspek kunci dalam sains pangan fungsional: bioaktivitas (kemampuan zat aktif memberikan efek kesehatan), bioaksesibilitas (sejauh mana zat tersebut dilepaskan dalam saluran pencernaan), dan bioavailabilitas (berapa banyak yang benar-benar diserap tubuh).
Tanpa pengolahan yang tepat, kandungan gizi yang baik pada label belum tentu menjadi manfaat nyata bagi tubuh. Inilah mengapa inovasi teknologi menjadi krusial—dan teknologi non-thermal muncul sebagai jembatan penting antara sains dan kesehatan masyarakat.
Peluang dan Tantangan di Indonesia
Peluangnya sangat besar. Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas pangan tropis yang belum tergarap optimal. Daun kelor, kunyit, temulawak, buah merah Papua, hingga umbi-umbian lokal seperti gembili dan ganyong, menyimpan potensi bioaktif luar biasa.
Bayangkan jika kita bisa memformulasikan minuman fungsional berbasis jahe merah dengan probiotik, atau snack tinggi serat dari umbi lokal yang tetap mempertahankan aktivitas antioksidannya karena menggunakan pengolahan non-termal. Produk-produk ini bukan hanya akan menyasar pasar domestik, tetapi juga punya peluang besar di pasar ekspor Asia dan Eropa yang kini sangat mengapresiasi produk clean label dan natural functional foods.
Namun, tantangannya juga nyata:
- Kurangnya infrastruktur pengolahan canggih, terutama teknologi non-termal, di tingkat industri kecil dan menengah.
- Belum adanya regulasi atau sertifikasi nasional khusus untuk pangan fungsional, yang bisa memberikan kepercayaan dan perlindungan konsumen.
- Masih minimnya sinergi antara akademisi, industri, dan pemerintah dalam riset berbasis komoditas lokal.
- Ketimpangan informasi di masyarakat mengenai manfaat pangan fungsional dan bagaimana memilihnya dengan bijak.
Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan ekosistem yang mendukung—mulai dari grant riset inovatif, pelatihan teknis industri, hingga intervensi kebijakan untuk memfasilitasi pengembangan dan adopsi teknologi non-termal secara lebih luas.
Menata Masa Depan Pangan Indonesia
Sebagai seorang pendidik dan peneliti di bidang Teknologi Pangan, saya percaya bahwa masa depan pangan Indonesia tidak hanya bergantung pada ketersediaan bahan baku, tetapi juga pada bagaimana kita mengolah dan memberdayakannya secara ilmiah dan inovatif.
Pangan fungsional bukan sekadar tren gaya hidup, tetapi bagian dari solusi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis nilai tambah. Teknologi non-termal adalah pintu masuk menuju pengolahan pangan yang lebih cerdas, efisien, dan menyehatkan. Sudah waktunya Indonesia mengambil peran lebih besar, tidak hanya sebagai pemasok bahan mentah, tetapi sebagai pemain utama dalam inovasi pangan masa depan.