Mendorong Transisi Energi Melalui Inisiatif Energi Terbarukan Berbasis Komunitas di Indonesia

Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)

Transisi menuju ekonomi rendah karbon bukan sekadar isu teknologi, tetapi juga persoalan demokratisasi akses dan kepemilikan energi. Di tengah kebutuhan mendesak untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memperluas akses energi berkelanjutan, inisiatif Community Renewable Energy Power-Sharing (CREPS) muncul sebagai pendekatan transformasional. CREPS mendorong masyarakat untuk menjadi produsen sekaligus konsumen energi (prosumer), memfasilitasi pembangkitan energi terdesentralisasi, serta memperkuat ketahanan energi lokal.

Sayangnya, di Indonesia, potensi besar energi terbarukan berbasis komunitas ini belum sepenuhnya terakomodasi dalam kebijakan energi nasional. Padahal, berbagai riset menunjukkan bahwa keberadaan kebijakan net metering, insentif pajak, dan regulasi akses jaringan listrik sangat berperan dalam mempercepat adopsi energi terbarukan oleh komunitas. Di negara-negara seperti Jerman, Denmark, dan bahkan beberapa negara berkembang, skema community solar atau microgrid berbasis desa terbukti mampu meningkatkan kemandirian energi sekaligus kesejahteraan masyarakat lokal.

Energi terbarukan berbasis komunitas bukan hanya solusi teknis, tapi juga langkah konkret menuju energy justice. Ketika warga diberi kesempatan untuk membangun dan mengelola pembangkit energi skala kecil, baik tenaga surya, biogas, maupun mikrohidro, mereka tidak hanya menikmati listrik, tetapi juga mendapatkan manfaat ekonomi dari skema energy sharing. Hal ini dapat memperkuat semangat gotong royong, membuka lapangan kerja hijau, dan mengurangi ketimpangan pembangunan antara kota dan desa.

Namun, agar CREPS dapat tumbuh di Indonesia, kita membutuhkan terobosan kebijakan yang lebih proaktif. Pertama, diperlukan regulasi net metering nasional yang memberikan kompensasi layak bagi rumah tangga atau komunitas yang menjual kelebihan energi ke jaringan PLN. Kedua, insentif fiskal seperti keringanan pajak atau subsidi awal untuk pengadaan panel surya perlu diberikan, khususnya bagi masyarakat di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Ketiga, akses terhadap skema pembiayaan mikro untuk proyek energi komunitas harus diperluas melalui sinergi antara BUMDes, koperasi, dan lembaga keuangan daerah.

Strategi Hilirisasi Energi Terbarukan Berbasis Komunitas

Sebagai bagian dari agenda hilirisasi energi nasional, Indonesia perlu mendorong hilirisasi sosial-teknologi melalui penguatan ekosistem energi terbarukan skala kecil. Artinya, bukan hanya berfokus pada ekspor panel surya atau baterai, tetapi juga pada pembangunan model bisnis, pelatihan teknis, dan layanan purna jual yang berbasis lokal. Pengembangan teknologi penyimpanan energi skala rumah tangga, sistem manajemen energi digital, dan integrasi Internet of Things (IoT) untuk monitoring energi komunitas adalah bagian penting dari hilirisasi ini.

Hilirisasi juga harus mencakup penyediaan perangkat produksi lokal seperti inverter, charge controller, dan mounting system, untuk menurunkan biaya dan meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Kolaborasi antara perguruan tinggi, industri energi terbarukan, dan pemerintah daerah menjadi kunci dalam membangun rantai pasok dan ekosistem inovasi dari hulu ke hilir.

Jika dikelola dengan serius, strategi hilirisasi berbasis komunitas ini tidak hanya mempercepat transisi energi nasional, tetapi juga memastikan bahwa transformasi energi terjadi secara inklusif, adil, dan berkelanjutan. Sudah saatnya kita menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam agenda energi masa depan Indonesia.

Kesimpulan
Transisi menuju energi bersih di Indonesia bukan sekadar mengganti sumber energi fosil dengan energi terbarukan, tetapi juga menciptakan sistem energi yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Melalui pendekatan Community Renewable Energy Power-Sharing (CREPS), masyarakat dapat berperan sebagai produsen sekaligus konsumen energi, memperkuat ketahanan energi lokal, dan mendapatkan manfaat ekonomi secara langsung. Namun, agar potensi ini dapat diwujudkan, dibutuhkan dukungan nyata melalui kebijakan progresif seperti regulasi net metering, insentif fiskal, dan akses pembiayaan mikro, terutama di wilayah 3T. Strategi hilirisasi energi terbarukan juga harus diperluas, tidak hanya pada aspek teknis seperti produksi panel surya atau baterai, tetapi juga pada penguatan kapasitas lokal, inovasi digital, dan pengembangan ekosistem teknologi berbasis komunitas. Dengan menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam transisi energi, Indonesia tidak hanya mampu mempercepat pencapaian target emisi rendah karbon, tetapi juga membangun masa depan energi yang berakar pada keadilan sosial dan kemandirian lokal.

Written by 

Teknologia managed by CV Teknologia (Teknologia Group) is a publisher of books and scientific journals with both national and international reach.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *