Energi Terbarukan sebagai Jalan Panjang menuju Kedaulatan Energi dan Masa Depan Berkelanjutan Indonesia

Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)

Energi bukan sekadar kebutuhan dasar, melainkan jantung penggerak peradaban manusia. Dari api unggun manusia purba hingga pembangkit listrik tenaga surya dan kendaraan listrik masa kini, pola konsumsi energi telah berevolusi secara radikal. Namun, yang tak berubah adalah kenyataan bahwa seluruh aktivitas kehidupan dan pertumbuhan ekonomi bertumpu pada pasokan energi yang andal, terjangkau, dan berkelanjutan.

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan kekayaan sumber daya alam luar biasa dan potensi energi terbarukan melimpah (matahari, angin, air, bioenergi, hingga panas bumi), berada di titik kritis dalam sejarah energinya. Ketergantungan terhadap energi fosil, khususnya batubara telah membawa dilema ganda: di satu sisi menopang pertumbuhan industri dan ekonomi, di sisi lain menjadi penyumbang besar emisi gas rumah kaca dan degradasi lingkungan.

Dalam konteks inilah, transisi menuju energi terbarukan harus dibaca bukan sekadar sebagai tuntutan global, melainkan sebagai momentum nasional untuk memperkuat kedaulatan energi, menciptakan lapangan kerja hijau, mengurangi ketimpangan akses energi, dan menghadirkan masa depan yang lebih bersih bagi generasi mendatang.

Namun demikian, transisi energi bukan sekadar mengganti pembangkit batubara dengan panel surya atau turbin angin. Ia membutuhkan pendekatan sistemik: teknologi, riset, kebijakan, dan inovasi sosial harus bergerak serempak. Dari sisi teknologi, inovasi telah mempercepat efisiensi dan penurunan biaya energi terbarukan. Riset-riset mutakhir mendorong pengembangan penyimpanan energi, integrasi sistem pintar, dan bioenergi generasi lanjut. Sementara itu, kebijakan publik yang progresif (feed-in tariff, subsidi hijau, insentif fiskal) menjadi pemicu percepatan adopsi di berbagai negara.

Indonesia tidak kekurangan ahli, peneliti, ataupun teknolog di bidang ini. Yang sering kali menjadi kendala adalah keberpihakan kebijakan yang belum konsisten, minimnya ekosistem riset yang berkelanjutan, serta belum terbangunnya rantai nilai industri energi terbarukan yang kuat dari hulu ke hilir.

Strategi Hilirisasi Energi Terbarukan di Indonesia

Strategi hilirisasi energi terbarukan di Indonesia menjadi pilar penting dalam menjawab tantangan ketergantungan energi fosil, ketimpangan akses energi, dan perubahan iklim. Hilirisasi ini bukan semata soal industrialisasi, tetapi lebih luas mencakup penciptaan nilai tambah, penguasaan teknologi, dan peningkatan daya saing nasional. Untuk itu, pendekatan yang terintegrasi dan berkeadilan sangat dibutuhkan.

Pertama, penguatan rantai pasok lokal harus menjadi prioritas. Dengan membangun industri manufaktur dalam negeri untuk panel surya, turbin angin, baterai, dan komponen energi lainnya, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan impor serta membuka peluang kerja baru yang luas. Ini akan menjadi fondasi kemandirian teknologi energi di masa depan.

Kedua, integrasi antara riset dan industri perlu diperkuat melalui pembentukan klaster teknologi energi terbarukan yang berbasis pasar. Perguruan tinggi, lembaga litbang, dan pelaku industri harus bersinergi untuk menghasilkan inovasi yang siap dikomersialisasikan. Hal ini dapat mempercepat adopsi teknologi dalam skala luas dan menjamin keberlanjutan inovasi.

Ketiga, transformasi digital menjadi kunci efisiensi sistem energi. Penerapan teknologi seperti Internet of Things (IoT), smart grid, dan blockchain dalam manajemen energi akan mempercepat pencapaian sistem energi nasional yang cerdas, adaptif, dan terintegrasi.

Keempat, dukungan regulasi melalui kebijakan fiskal dan insentif investasi sangat krusial. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang ramah bagi industri hijau, mulai dari insentif pajak, akses pembiayaan, hingga skema pembelian energi terbarukan oleh PLN dan sektor swasta untuk menjamin pasar.

Kelima, pemberdayaan daerah dan UMKM energi harus menjadi bagian dari strategi hilirisasi. Sistem energi terdesentralisasi berbasis desa, seperti PLTS komunal dan biogas skala kecil, bisa dikelola oleh koperasi energi atau UMKM lokal sehingga mendorong kemandirian energi dari bawah.

Terakhir, pengembangan bioenergi dan pemanfaatan limbah menjadi penting sebagai bentuk hilirisasi berbasis sumber daya lokal. Limbah pertanian seperti tandan kosong sawit, jerami, dan limbah jagung dapat diolah menjadi biofuel, bio-CNG, hingga green hydrogen yang bernilai tinggi. Dengan pendekatan ini, hilirisasi energi terbarukan tidak hanya menjawab tantangan energi, tetapi juga menciptakan ekonomi baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Jika strategi hilirisasi ini dijalankan dengan serius, maka Indonesia bukan hanya akan menjadi konsumen teknologi energi bersih, tetapi juga pemain utama dalam rantai nilai energi global. Ini adalah peluang emas untuk menciptakan ekonomi baru berbasis energi bersih yang inklusif dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Akhirnya, transisi energi bukan hanya soal teknologi, melainkan soal keadilan, kedaulatan, dan keberanian mengambil langkah besar. Indonesia harus memastikan bahwa transformasi ini berpihak pada rakyat, mengakar pada kekayaan lokal, dan bertumpu pada semangat inovasi. Masa depan energi Indonesia harus hijau, mandiri, dan adil—dan itu dimulai dari sekarang.

Written by 

Teknologia managed by CV Teknologia (Teknologia Group) is a publisher of books and scientific journals with both national and international reach.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *