Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Indonesia tengah menghadapi dua tantangan besar yang saling bertautan: krisis iklim global dan ketimpangan akses energi yang masih membelenggu sebagian besar masyarakat, terutama di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Transisi energi menuju sumber terbarukan bukan sekadar persoalan mengganti batu bara dengan panel surya atau turbin angin. Ia adalah persoalan keadilan, baik keadilan energi maupun keadilan lingkungan.
Keadilan energi menuntut agar seluruh warga, tanpa memandang latar belakang geografis atau ekonomi, memiliki akses setara terhadap energi yang bersih, terjangkau, dan andal. Di sisi lain, keadilan lingkungan mengharuskan kita menjaga ekosistem agar generasi mendatang tidak mewarisi bumi yang rusak akibat eksploitasi energi, bahkan yang mengatasnamakan ‘energi hijau’.
Ironisnya, tidak semua proyek energi terbarukan bebas dari implikasi ekologis. Proyek PLTA skala besar bisa menggusur masyarakat adat dan merusak biodiversitas sungai. Proyek PLTS yang tidak mempertimbangkan siklus hidup materialnya bisa menimbulkan tumpukan limbah panel dalam dua dekade ke depan. Inilah paradoks yang harus diselesaikan: bagaimana kita memastikan bahwa upaya menyelamatkan planet ini tidak justru menimbulkan kerusakan di tempat lain?
Di sinilah pentingnya membangun sistem transisi energi yang tidak hanya efisien secara teknis, tapi juga adil secara sosial dan ekologis. Kebijakan energi harus menyasar akar ketimpangan: memberi insentif bagi pembangunan energi terbarukan berbasis komunitas, melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan, dan mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ekologis sejak tahap desain proyek.
Strategi Hilirisasi Energi Terbarukan di Indonesia
Transisi energi tidak akan cukup jika hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur pembangkit. Dibutuhkan strategi hilirisasi yang lebih komprehensif, yang tidak hanya menciptakan kapasitas pasokan energi, tetapi juga menumbuhkan industri, inovasi, dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam ekosistem energi nasional. Hilirisasi energi terbarukan harus dilihat sebagai cara strategis untuk memperkuat kemandirian energi sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Pertama, pengembangan industri lokal menjadi kunci. Teknologi energi terbarukan seperti panel surya, turbin angin, dan baterai harus diproduksi secara lokal guna membangun rantai pasok domestik yang kuat, mengurangi ketergantungan pada impor, serta membuka banyak lapangan kerja baru. Ini memerlukan kebijakan industrialisasi yang terintegrasi dengan visi energi hijau.
Kedua, inovasi dan penelitian terapan (R&D) perlu diperkuat. Kampus dan pusat riset harus menjadi tulang punggung pengembangan teknologi hijau, mulai dari sistem penyimpanan energi, bioenergi, hingga smart grid. Kolaborasi yang erat antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah mutlak diperlukan agar inovasi tersebut cepat masuk ke pasar dan berdampak nyata.
Ketiga, hilirisasi harus menyentuh ekonomi rakyat secara langsung. Energi terbarukan harus menjadi penggerak ekonomi lokal—seperti pemanfaatan PLTS atap oleh koperasi desa, pembangunan instalasi biogas skala rumah tangga dari limbah ternak, atau pengolahan hasil pertanian menggunakan energi surya. Dengan pendekatan ini, transisi energi tidak hanya adil, tetapi juga inklusif.
Kesimpulan
Dengan strategi hilirisasi ini, Indonesia bukan hanya menjadi pasar bagi teknologi energi hijau global, tetapi juga menjadi pemain utama dalam ekosistem energi bersih yang adil dan berkelanjutan.
Transisi energi harus menjadi agenda sosial, bukan hanya agenda teknis. Ia harus memastikan bahwa dalam upaya menyelamatkan bumi, tak ada satu pun kelompok masyarakat yang dikorbankan, dan tak ada satu pun wilayah yang tertinggal dalam cahaya terang energi berkelanjutan.
