Menuju Transisi Energi Adil dan Berkelanjutan di Indonesia

Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)

Indonesia sedang memasuki era krusial dalam sejarah energi nasionalnya: masa transisi dari sistem energi berbasis fosil menuju sistem energi yang lebih bersih, berkeadilan, dan berkelanjutan. Namun, transisi ini bukan sekadar soal teknologi atau bauran energi. Ia juga menyimpan tantangan etis dan sosial yang kompleks, terutama ketika menyangkut keadilan bagi masyarakat yang terdampak langsung maupun tidak langsung oleh perubahan ini.

Prinsip transisi yang adil (just transition) menjadi landasan penting dalam merancang masa depan energi kita. Transisi energi tidak boleh mengorbankan kelompok masyarakat rentan, pekerja sektor fosil, maupun komunitas adat yang hidup berdampingan dengan sumber daya alam. Keadilan sosial dalam konteks transisi energi menuntut keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, akses terhadap pelatihan dan pekerjaan hijau, serta perlindungan terhadap hak ekonomi dan kultural mereka.

Sayangnya, dalam praktiknya, ketimpangan masih kerap muncul. Pembangunan proyek energi terbarukan yang tidak mempertimbangkan suara lokal, seperti PLTA skala besar yang menyebabkan penggusuran komunitas adat, menimbulkan ironi: teknologi hijau bisa jadi tidak adil jika tidak dirancang dengan hati-hati. Hal ini memperlihatkan bahwa transisi energi bukan hanya soal “mengganti” teknologi, tapi “mengubah” cara pandang terhadap pembangunan.

Di sinilah peran berbagai aktor, termasuk para pekerja sosial, akademisi, dan pemerintah daerah menjadi sangat penting. Pendekatan lintas sektor yang menggabungkan teknologi dengan sensitivitas sosial dan budaya menjadi keharusan. Pendidikan dan pelatihan harus menjangkau kelompok marjinal agar mereka tidak tertinggal dalam ekonomi energi baru. Selain itu, pengakuan terhadap hak atas tanah dan ruang hidup komunitas lokal harus dijadikan pijakan utama dalam setiap kebijakan energi.

Bagi Indonesia, strategi hilirisasi energi menjadi kunci dalam memastikan transisi yang adil sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Hilirisasi tidak sekadar menambah nilai ekonomi dari bahan mentah energi baru dan terbarukan, seperti nikel atau biomassa, tetapi juga membuka peluang lapangan kerja, inovasi teknologi, dan penguatan industri manufaktur dalam negeri.

Strategi Hilirisasi Energi di Indonesia:

Strategi hilirisasi energi di Indonesia perlu dirancang secara menyeluruh agar mampu mempercepat transisi menuju sistem energi berkelanjutan yang berkeadilan. Langkah pertama yang mendesak adalah penguatan ekosistem industri energi terbarukan melalui pembangunan rantai pasok yang lengkap, dari hulu ke hilir. Pemerintah perlu mendorong investasi pada sektor-sektor strategis seperti manufaktur panel surya, baterai penyimpan energi, hingga elektroliser untuk hidrogen hijau agar produksi teknologi tidak lagi bergantung pada impor.

Selanjutnya, kebijakan insentif dan perlindungan pasar domestik menjadi kunci agar industri dalam negeri bisa berkembang dan bersaing. Hal ini dapat diwujudkan melalui pemberian insentif fiskal, subsidi untuk riset dan inovasi, serta penerapan kebijakan kandungan lokal (local content requirement) yang mendorong penggunaan produk dalam negeri secara luas, sekaligus memperkuat kemandirian energi nasional.

Aspek inklusi sosial juga sangat penting dalam kebijakan hilirisasi ini. Masyarakat lokal, terutama di daerah-daerah yang menjadi sumber bahan baku seperti desa penghasil limbah biomassa atau wilayah dengan cadangan mineral kritis, harus diberdayakan secara aktif. Melalui skema kepemilikan berbasis komunitas (community-based ownership), masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tetapi turut mendapatkan manfaat ekonomi dari pembangunan energi terbarukan.

Terakhir, pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan penelitian-pengembangan (litbang) harus menjadi fondasi jangka panjang dari hilirisasi. Diperlukan penguatan pendidikan vokasi, pelatihan teknis, dan pendanaan riset energi terbarukan agar Indonesia tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga mampu menciptakan teknologi sendiri dan memimpin inovasi energi masa depan.

Kesimpulan

Dengan arah kebijakan yang tepat, Indonesia tidak hanya bisa bertransformasi menjadi negara berenergi bersih, tetapi juga menjadi kekuatan industri hijau yang adil dan berdaulat. Transisi energi yang mengedepankan keadilan sosial bukanlah pilihan, melainkan prasyarat bagi masa depan yang berkelanjutan.

Written by 

Teknologia managed by CV Teknologia (Teknologia Group) is a publisher of books and scientific journals with both national and international reach.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *