Menuju Indonesia Rendah Karbon dengan Tantangan Teknologi dan Strategi Hilirisasi Energi

Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)

Menuju masa depan rendah karbon bukan sekadar ambisi, melainkan keniscayaan. Dunia sedang bergerak menuju pengurangan emisi secara drastis untuk mencapai target pemanasan global maksimum 2°C, sebagaimana disepakati dalam Paris Agreement. Dalam skenario global tersebut, ruang emisi yang tersedia di masa depan akan sangat terbatas, memaksa semua negara untuk menata ulang sistem infrastruktur energi mereka.

Model integratif seperti Equitable Access to Sustainable Development (EASD) dan Global Change Assessment Model (GCAM) menunjukkan bahwa seluruh wilayah dunia, termasuk Asia Tenggara, harus memangkas konsumsi batu bara dan mempercepat adopsi energi terbarukan serta nuklir. Di negara-negara maju, pemakaian energi fosil harus dipangkas drastis bahkan sebelum 2020. Sementara itu, negara berkembang dituntut menggabungkan teknologi seperti Carbon Capture and Storage (CCS) serta reaktor nuklir generasi baru untuk mengejar kebutuhan listrik yang terus meningkat tanpa menambah beban karbon.

Bagi Indonesia, transformasi ini tidak sekadar bergantung pada teknologi semata, tetapi juga membutuhkan visi strategis jangka panjang, terutama dalam membangun ekosistem energi yang adil, efisien, dan berkelanjutan. Namun yang harus digarisbawahi: transisi energi tidak selalu otomatis bermakna keadilan sosial. Jika tidak dikelola dengan bijak, transformasi ini bisa justru memperdalam kesenjangan—antara yang memiliki akses ke teknologi dan modal, dengan masyarakat rentan yang masih bergantung pada energi tradisional.

Hilirisasi di Indonesia

Hilirisasi energi di Indonesia memegang peranan strategis dalam mendorong transformasi sistem energi nasional yang lebih mandiri, berkelanjutan, dan berdaya saing global. Hilirisasi di sini bukan semata soal industrialisasi sumber daya alam, melainkan mencakup upaya menyeluruh untuk memperkuat rantai nilai energi, dari hulu ke hilir. Dalam konteks ini, pembangunan industri manufaktur komponen energi terbarukan dalam negeri menjadi prioritas utama, mulai dari panel surya, turbin angin, hingga modul baterai agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga produsen teknologi energi bersih.

Selain itu, penguatan ekosistem riset dan inovasi nasional menjadi fondasi penting dalam hilirisasi energi. Universitas, politeknik, dan lembaga litbang harus didorong menjadi pusat penciptaan teknologi dan solusi energi baru, sekaligus menjadi tempat pengembangan SDM unggul di bidang energi terbarukan dan digitalisasi energi. Peran mereka sangat krusial dalam memastikan bahwa hilirisasi tidak hanya bertumpu pada eksploitasi sumber daya, tetapi juga pada penciptaan pengetahuan dan keunggulan teknologi nasional.

Teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) juga perlu segera diterapkan secara luas, terutama di sektor industri berat seperti semen, baja, dan petrokimia. Teknologi ini merupakan jembatan penting dalam menekan emisi karbon selama masa transisi energi menuju sistem yang sepenuhnya bersih. Di sisi lain, integrasi antara pembangkit listrik energi terbarukan dengan sistem penyimpanan energi, baik berbasis baterai maupun hidrogen hijau akan meningkatkan keandalan sistem energi nasional dan memperkuat ketahanan energi jangka panjang.

Terakhir, hilirisasi juga harus menyentuh level akar rumput melalui pemberdayaan desa energi berbasis bioenergi lokal. Potensi besar dari limbah pertanian dan kehutanan, jika dimanfaatkan secara optimal, dapat menjadi sumber energi bersih yang mendukung ekonomi lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Dengan demikian, hilirisasi energi di Indonesia bukan hanya strategi teknis, melainkan juga strategi sosial untuk menciptakan pemerataan manfaat energi bersih secara inklusif.

Hilirisasi ini bertujuan menciptakan kemandirian energi, membuka lapangan kerja hijau, serta memastikan bahwa transisi energi nasional tidak meninggalkan kelompok rentan. Dengan pendekatan integratif antara kebijakan, teknologi, dan keadilan sosial, Indonesia bisa menjadi pelopor dalam transisi energi berkeadilan di kawasan Asia Tenggara.

Kesimpulan

Menuju Indonesia rendah karbon bukan hanya persoalan teknologi, tetapi juga transformasi struktural yang menyentuh dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan secara simultan. Strategi hilirisasi energi memegang peranan sentral dalam menciptakan sistem energi nasional yang mandiri, adil, dan berkelanjutan, dengan menitikberatkan pada penguatan industri lokal, pengembangan inovasi berbasis riset, penerapan teknologi bersih seperti CCS dan hidrogen hijau, serta pemberdayaan masyarakat desa energi melalui pemanfaatan bioenergi lokal. Tanpa strategi yang menyeluruh dan berorientasi keadilan sosial, transisi energi berisiko menciptakan ketimpangan baru dan memperlebar jurang akses energi. Oleh karena itu, Indonesia perlu merancang kebijakan hilirisasi yang inklusif, berorientasi jangka panjang, dan mampu menjembatani antara tuntutan global akan dekarbonisasi dan kebutuhan domestik akan keadilan energi.

Written by 

Teknologia managed by CV Teknologia (Teknologia Group) is a publisher of books and scientific journals with both national and international reach.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *