Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Dengan meningkatnya urgensi dalam upaya menurunkan emisi karbon, teknologi penangkapan CO2 terus mengalami perkembangan signifikan. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana mengoptimalkan efisiensi operasional teknologi ini, khususnya dalam kondisi di mana aliran gas buang yang kaya CO2 berfluktuasi akibat perubahan dalam intensitas produksi energi fosil maupun variasi cuaca. Makalah ini memberikan solusi inovatif melalui penerapan sistem energi terbarukan untuk meningkatkan efisiensi penangkapan CO2, meskipun tantangan utama adalah variasi daya yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan, seperti angin dan matahari, yang sangat bergantung pada kondisi cuaca.
Dalam penelitian ini, proses penangkapan CO2 dioptimalkan secara dinamis melalui proses “enhanced weathering” kalsit dengan air tawar di dalam reaktor kolom gelembung terisi (PBC). Di sini, gas buang yang mengandung CO2 dari pembangkit listrik diubah menjadi bikarbonat dan kemudian disimpan di lautan. Inovasi dari makalah ini adalah penggunaan model dinamis berbasis data yang dirancang untuk memprediksi tingkat penangkapan CO2 (CR) dan konsumsi energi (PC) dari reaktor PBC. Model ini dilatih menggunakan data dari simulasi berbasis fisika. Pendekatan yang diambil mencakup dua model pembelajaran mendalam, yaitu jaringan Long Short-Term Memory (LSTM) dan Multi-Layer Perceptron (MLP), yang digunakan untuk memprediksi dinamika operasional reaktor.
Salah satu poin penting dalam makalah ini adalah kemampuan model LSTM dalam memprediksi konsentrasi CO2 pada gas buang masuk (R2: 0.981) dan energi angin yang tersedia (R2: 0.908). Dengan akurasi prediksi yang tinggi ini, model digunakan untuk mengoptimalkan proses reaktor secara proaktif. Proses ini dilakukan dengan memodifikasi kondisi operasional reaktor seperti laju aliran gas dan laju aliran cairan. Hasilnya sangat menggembirakan, karena pendekatan ini berhasil meningkatkan tingkat penangkapan karbon reaktor sebesar 16,7% selama periode operasi satu bulan. Selain itu, konsumsi energi non-terbarukan berhasil dikurangi dari 92,9% menjadi 56,6%, sebuah prestasi yang signifikan.
Penting untuk dicatat bahwa peningkatan efisiensi ini tidak hanya berfokus pada penangkapan CO2, tetapi juga pada optimalisasi penggunaan energi terbarukan yang bersifat intermiten. Dengan fluktuasi yang sering terjadi pada suplai energi angin dan matahari, sistem harus dapat beradaptasi secara real-time. Teknologi berbasis kecerdasan buatan, seperti LSTM dan MLP, sangat berperan dalam memberikan fleksibilitas operasional yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan ini. Kombinasi dari model prediksi berbasis data dan algoritma optimasi genetika NSGA-II memungkinkan sistem untuk mencapai keseimbangan antara efisiensi energi dan tingkat penangkapan CO2.
Pendekatan ini menawarkan solusi konkret untuk permasalahan energi di masa depan, khususnya dalam hal adaptasi teknologi penangkapan karbon yang efisien terhadap ketidakpastian pasokan energi terbarukan. Di satu sisi, penelitian ini menunjukkan pentingnya integrasi teknologi prediktif dengan optimasi multi-objektif dalam pengelolaan energi, sehingga sistem dapat lebih responsif terhadap perubahan kondisi operasional. Di sisi lain, hasil penelitian ini juga membuka peluang lebih luas untuk penerapan metode serupa pada skala industri yang lebih besar.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan betapa efektifnya pendekatan model berbasis data dan optimasi dinamis dalam meningkatkan fleksibilitas operasional reaktor penangkapan CO2. Hal ini memberikan angin segar bagi pengembangan teknologi energi yang lebih hijau dan berkelanjutan di masa depan. Dalam konteks ini, teknologi seperti ini sangat potensial untuk menjadi solusi penting dalam menghadapi krisis iklim global, dengan tetap memperhatikan efisiensi energi dan pemanfaatan sumber daya terbarukan.