Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Alergi semakin menjadi perhatian serius di masyarakat modern seiring dengan perubahan gaya hidup, lingkungan, dan pola makan. Studi mengenai pola kunjungan medis terkait penyakit alergi ini memberikan wawasan penting tentang karakteristik alergen yang dominan serta pola musiman yang memicu kunjungan pasien. Data dari 1584 pasien yang menjalani tes alergen di Klinik Rawat Jalan Pusat Medis Ketiga Rumah Sakit Umum PLA Cina antara Januari 2018 hingga Desember 2020 menyoroti pola bimodal kunjungan medis dan memberikan wawasan penting untuk strategi penanganan alergi yang lebih proaktif dan preventif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kunjungan medis akibat penyakit alergi menunjukkan pola bimodal setiap tahun selama periode penelitian, dengan puncak kunjungan terjadi pada bulan Maret hingga Mei dan Agustus hingga Oktober. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor musiman, terutama serbuk sari, memainkan peran signifikan dalam memicu alergi, terutama di bulan-bulan tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa perawatan preventif sebelum musim alergi tiba sangat diperlukan untuk mengurangi beban pasien dan mengoptimalkan penanganan medis.
Alergen yang paling umum ditemukan dalam tes ini adalah serbuk sari Artemisia, yang menjadi penyebab alergi inhalan musiman terbesar. Sementara itu, tungau debu rumah ditemukan sebagai alergen inhalan yang paling sering muncul sepanjang tahun. Distribusi alergen ini menunjukkan pentingnya deteksi dini dan langkah preventif, terutama di wilayah yang memiliki populasi tinggi serbuk sari dan tungau debu. Ini juga memberikan dasar bagi pengembangan sistem peringatan dini bagi pasien yang rentan terhadap alergen musiman dan tahunan.
Selain alergen inhalan, makanan juga merupakan sumber utama alergi. Tiga alergen makanan paling umum yang ditemukan dalam penelitian ini adalah ikan laut, kepiting laut, dan udang laut. Hal ini menyoroti tingginya prevalensi alergi makanan laut di kalangan pasien. Sebagai ahli teknologi pangan, penting untuk menyadari bahwa alergi makanan seperti ini bisa dihindari dengan memberikan panduan yang jelas mengenai komposisi makanan, label alergen pada produk, dan edukasi kepada konsumen untuk mengenali makanan yang berpotensi memicu alergi.
Penelitian ini juga menyoroti pentingnya pemeriksaan serum IgE spesifik sebagai alat diagnostik yang efektif untuk mendeteksi alergi terhadap berbagai alergen. Dengan menggunakan instrumen chemiluminescence, pasien dapat mengetahui tingkat kepekaan mereka terhadap alergen tertentu, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi pengelolaan alergi yang lebih terarah. Teknologi seperti ini membuka jalan bagi pendekatan pengobatan yang lebih berbasis data, di mana keputusan klinis dapat didasarkan pada bukti laboratorium yang akurat.
Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah sebagian besar kunjungan medis terkait alergi masih dilakukan dalam mode pasif, yaitu pasien mencari pengobatan setelah gejala alergi muncul. Padahal, dengan pemahaman yang lebih baik tentang pola distribusi alergen, seharusnya bisa dikembangkan pendekatan pengobatan yang lebih aktif dan preventif. Misalnya, pasien yang diketahui memiliki sensitivitas tinggi terhadap alergen musiman seperti serbuk sari Artemisia atau alergen makanan laut bisa diberikan pengobatan dan langkah-langkah preventif sebelum musim alergi atau konsumsi makanan tertentu.
Kesimpulannya, pola distribusi alergen yang ditemukan dalam penelitian ini memberikan wawasan penting tentang pentingnya perawatan preventif dalam menangani alergi. Alih-alih menunggu pasien mengalami gejala alergi, pendekatan proaktif yang melibatkan pemberian obat dan tindakan pencegahan sebelum gejala muncul bisa secara signifikan mengurangi dampak alergi pada pasien. Ini membuka peluang bagi pengembangan layanan kesehatan yang lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan pasien alergi, sekaligus mengurangi beban finansial dan sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini.