Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Konsumsi minuman manis (sugar-sweetened beverages, SSB) dan makanan cepat saji secara signifikan dikaitkan dengan kesehatan mental yang buruk di kalangan remaja. Pada studi terbaru, terbukti bahwa pola konsumsi SSB dan makanan cepat saji tidak hanya berdampak negatif secara individu, tetapi juga memiliki efek sinergis ketika dikonsumsi bersamaan. Pola diet ini berpotensi memperburuk kesehatan mental remaja, terutama terkait dengan stres, gejala depresi, dan pemikiran bunuh diri. Studi ini sangat relevan di era modern di mana gaya hidup remaja seringkali didominasi oleh makanan yang tinggi gula dan lemak.
Penelitian di Korea Selatan, yang menggunakan data dari Korea Youth Risk Behavior Web-based Survey tahun 2021, menunjukkan bahwa kombinasi konsumsi SSB dan makanan cepat saji pada tingkat sedang hingga tinggi terkait erat dengan peningkatan stres, gejala depresi, dan pemikiran bunuh diri di kalangan siswa sekolah menengah. Analisis dari 24.006 siswa mengindikasikan bahwa semakin banyak konsumsi kedua jenis makanan ini, semakin besar risiko gangguan kesehatan mental yang mereka hadapi. Hasil ini menyoroti pentingnya memahami dampak pola diet tidak sehat pada kesejahteraan mental remaja.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui berbagai mekanisme. Asupan gula yang berlebihan dari SSB diketahui dapat meningkatkan respons stres fisiologis tubuh melalui perubahan kadar glukosa darah yang ekstrem. Selain itu, konsumsi lemak jenuh dan garam yang tinggi dari makanan cepat saji dapat menyebabkan peradangan pada otak, yang terkait dengan gangguan fungsi neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin, dua hormon yang berperan penting dalam mengatur suasana hati. Kombinasi kedua sumber makanan ini meningkatkan risiko ketidakseimbangan kimiawi di otak, yang pada akhirnya dapat memperburuk kondisi mental remaja.
Menariknya, studi ini juga menemukan bahwa efek negatif konsumsi SSB dan makanan cepat saji ini bersifat dose-dependent. Artinya, semakin tinggi tingkat konsumsi kedua jenis makanan tersebut, semakin besar pula dampak negatifnya terhadap kesehatan mental remaja. Bahkan pada tingkat konsumsi rendah, risiko peningkatan stres dan gejala depresi sudah mulai terlihat, tetapi risiko ini meningkat secara signifikan pada konsumsi sedang hingga tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa pola makan tidak sehat bahkan dalam jumlah kecil dapat berdampak pada kesehatan mental, terutama jika dilakukan secara terus-menerus.
Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, temuan ini memiliki implikasi penting. Intervensi yang ditargetkan pada pembatasan konsumsi SSB dan makanan cepat saji di kalangan remaja harus segera diprioritaskan, baik di lingkungan sekolah maupun komunitas. Program pemberian makan berbasis sekolah yang mendorong konsumsi makanan sehat serta kebijakan untuk mengurangi ketersediaan SSB dan makanan cepat saji di kantin sekolah bisa menjadi langkah awal yang efektif. Selain itu, edukasi gizi yang berfokus pada dampak buruk pola makan tidak sehat terhadap kesehatan mental harus ditingkatkan untuk meningkatkan kesadaran di kalangan siswa dan orang tua.
Pada akhirnya, kombinasi antara konsumsi SSB dan makanan cepat saji harus diakui sebagai ancaman serius bagi kesehatan mental remaja. Dampak negatifnya yang bersifat kumulatif dan sinergis membuat remaja semakin rentan terhadap masalah psikologis. Oleh karena itu, intervensi berbasis gizi yang lebih komprehensif dan kebijakan pembatasan akses terhadap makanan-makanan tersebut sangat diperlukan untuk melindungi kesejahteraan mental generasi muda. Ini bukan hanya tentang menjaga kesehatan fisik mereka, tetapi juga memastikan mereka tumbuh dengan mental yang sehat dan stabil.