Review Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Dalam era modern ini, tantangan lingkungan akibat pembakaran bahan bakar fosil, khususnya batubara, semakin mendesak untuk diatasi. Artikel ini menyajikan hasil penelitian eksperimental dan teoretis mengenai proses pembakaran bahan bakar air-batubara (CWF) yang terbuat dari batubara dengan berbagai tingkat metamorfisme dan semi-kok batubara. Penelitian ini menunjukkan bahwa torrefaksi awal batubara dapat meningkatkan kinerja lingkungan secara signifikan, dengan pengurangan konsentrasi gas buang utama seperti nitrogen oksida (NOx) dan sulfur oksida (SOx) hingga 50-60%. Temuan ini sangat relevan, terutama dalam konteks pembakaran CWF berbasis lignit, yang menunjukkan potensi besar untuk mengurangi dampak negatif terhadap atmosfer.
Salah satu aspek menarik dari penelitian ini adalah penentuan waktu tunda penyalaan (ignition delay time) dari tetesan CWF. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa waktu tunda penyalaan partikel CWF yang terbuat dari batubara yang telah ditorrefaksi pada suhu lingkungan rendah (Tg≤873 K) rata-rata 20% lebih tinggi dibandingkan dengan tetesan CWF berbasis batubara alami. Hal ini menunjukkan bahwa proses torrefaksi tidak hanya mempengaruhi karakteristik fisik batubara, tetapi juga mempengaruhi dinamika pembakaran, yang penting untuk pengembangan teknologi pembakaran yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Dalam konteks pemanasan suhu tinggi, perbedaan waktu tunda penyalaan antara CWF berbasis batubara alami dan semi-kok tidak signifikan, dengan perbedaan tidak lebih dari 2%. Temuan ini menunjukkan bahwa pada kondisi ekstrem, karakteristik pembakaran dari kedua jenis bahan bakar tersebut hampir serupa, yang membuka peluang untuk penggunaan semi-kok sebagai alternatif yang lebih bersih dan efisien. Penelitian ini juga mengembangkan model matematis untuk proses penyalaan tetesan CWF berbasis semi-kok, yang menawarkan pendekatan sederhana namun tetap memiliki potensi prediktif yang tinggi.
Analisis terhadap diskursus politik modern menunjukkan bahwa entropi informasi terkait dampak antropogenik terhadap atmosfer terus meningkat. Dengan pertumbuhan konsumsi energi global, kebutuhan untuk memperkenalkan kapasitas pembangkit energi baru semakin mendesak. Meskipun selama tiga dekade terakhir, fokus utama adalah pada pengembangan sumber energi terbarukan (RES) seperti panel surya dan turbin angin, kenyataan menunjukkan bahwa potensi RES terbatas dan pembangkitannya masih tidak stabil. Oleh karena itu, perhatian kembali tertuju pada energi batubara, meskipun tantangan utama terkait dampak lingkungan dari pembangkit listrik tenaga batubara masih belum terpecahkan.
Situasi ini menciptakan peluang untuk mengembangkan teknologi batubara yang “bersih” dengan penangkapan emisi antropogenik yang dihasilkan selama pembakaran. Penelitian ini menyoroti pentingnya proses pirolisis awal batubara, yang menghasilkan produk gas pirolisis yang dapat dihilangkan dari lingkungan. Dengan menghilangkan senyawa berbahaya seperti hidrogen sulfida dan asam hidroksianik, sisa yang tersisa adalah campuran karbon kokas dan mineral batubara, yang saat dibakar hanya menghasilkan karbon dioksida dan uap air. Ini menunjukkan bahwa pembakaran CWF berbasis batubara yang telah ditorrefaksi dapat menjadi solusi yang lebih ramah lingkungan.
Dengan demikian, penelitian ini memberikan dasar yang kuat untuk justifikasi teknologi pembakaran batubara yang ramah lingkungan, terutama dalam konteks siklus Allam yang menggunakan pembangkit gas turbin. Pendekatan ini tidak hanya berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga dapat meningkatkan efisiensi pembangkit listrik secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi para peneliti dan praktisi di bidang teknik sistem termal dan energi terbarukan untuk terus mengeksplorasi dan mengembangkan teknologi yang dapat memanfaatkan potensi batubara secara berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.