Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Pada zaman modern saat ini, teknologi telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk cara kita mengelola kesehatan dan pola makan. Narasi di atas menggarisbawahi sebuah inovasi dalam menciptakan sistem diet dinamis yang mampu menyesuaikan asupan kalori berdasarkan aktivitas fisik harian pengguna, menggunakan pendekatan teknologi sensorik dan kecerdasan buatan. Sebagai seorang Dosen Bidang Teknologi Pangan, ulasan ini akan mengupas potensi, tantangan, dan masa depan dari sistem ini dalam konteks sains dan teknologi pangan.
Pertama-tama, latar belakang dari penelitian ini sangat relevan dengan tantangan kesehatan global yang sedang dihadapi, yaitu epidemi obesitas. Obesitas tidak hanya berdampak pada fisik tetapi juga berkontribusi pada munculnya penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, dan stroke. Oleh karena itu, pendekatan berbasis teknologi untuk membantu individu mengontrol berat badan melalui penyesuaian kalori yang dinamis patut diapresiasi. Sistem ini menawarkan solusi yang lebih fleksibel dibandingkan dengan diet statis yang seringkali gagal karena sifatnya yang kaku.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menyoroti pengembangan perangkat keras yang dapat mendeteksi dan mengukur aktivitas fisik pengguna, khususnya berjalan dan berlari. Penggunaan ASIC (Application Specific Integrated Circuit) dalam perangkat keras ini adalah inovasi penting karena memungkinkan pengukuran yang lebih presisi daripada pedometer tradisional. Keakuratan dalam mengukur aktivitas fisik sangat krusial dalam sistem seperti ini, karena data tersebut menjadi dasar perhitungan kebutuhan kalori harian pengguna.
Selain itu, aspek diet dinamis yang dapat diatur berdasarkan preferensi makanan pengguna adalah langkah maju yang signifikan. Dengan memberikan pengguna kebebasan untuk merencanakan menu makanan mereka, sistem ini memungkinkan personalisasi yang lebih mendalam. Ini dapat meningkatkan kepatuhan terhadap program diet karena pengguna merasa lebih memiliki kontrol atas pilihan makanan mereka. Hal ini relevan dalam ilmu pangan karena personalisasi diet yang berbasis data dan preferensi adalah tren yang semakin berkembang dalam pengembangan produk pangan fungsional dan personalisasi nutrisi.
Namun, ada tantangan signifikan yang perlu diperhatikan. Keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada keakuratan pengaturan parameter oleh ahli gizi dan kejujuran pengguna dalam memasukkan data fisik dan preferensi makanan mereka. Interaksi antara manusia dan mesin dalam sistem seperti ini masih menjadi faktor yang bisa mempengaruhi efektivitas secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam penerapannya, perlu ada edukasi berkelanjutan baik kepada pengguna maupun ahli gizi yang memanfaatkan sistem ini.
Lebih jauh, rencana untuk mengintegrasikan sistem ini dengan “Cloud” membuka peluang besar untuk pengembangan lebih lanjut. Dengan analisis data yang terpusat, pola konsumsi makanan berdasarkan wilayah geografis dan statistik kesehatan dapat dihasilkan, yang pada akhirnya berpotensi untuk digunakan dalam kebijakan kesehatan publik dan pengembangan produk pangan. Ini menjadi peluang bagi para ilmuwan dan praktisi di bidang teknologi pangan untuk lebih berperan dalam memanfaatkan big data dalam pengembangan nutrisi yang lebih optimal dan terpersonalisasi.
Secara keseluruhan, inovasi ini merupakan langkah yang sangat menjanjikan di bidang pengelolaan kesehatan berbasis teknologi. Namun, penelitian lebih lanjut dan pengembangan yang lebih mendalam dibutuhkan agar sistem ini benar-benar bisa diterapkan di masyarakat secara luas dan efektif. Sebagai seorang dosen di bidang Teknologi Pangan, kontribusi seperti ini berpotensi mendefinisikan kembali cara kita memandang hubungan antara teknologi, pangan, dan kesehatan.