Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Teknologi cetak 3D telah mengalami perkembangan yang pesat dan kini diterapkan dalam berbagai industri, termasuk otomotif, penerbangan, dan yang terbaru, industri makanan. Penggunaan teknologi ini memungkinkan pembuatan model fisik langsung dari desain 3D tanpa memerlukan cetakan. Dalam konteks industri pangan, pencetakan makanan 3D (3D food printing) menjanjikan untuk menghasilkan model makanan yang kompleks dengan pola internal yang unik, membuka peluang baru dalam inovasi kuliner dan desain produk.
Teknik pencetakan makanan 3D terdiri dari beberapa metode, antara lain pencetakan berbasis ekstrusi, sintering laser selektif, dan pencetakan inkjet (pengikatan cair). Masing-masing teknik ini memiliki keunggulan dan kekurangan, tergantung pada jenis bahan makanan yang digunakan dan bentuk akhir yang diinginkan. Misalnya, bahan seperti gula dan cokelat berbasis gelatin sering digunakan dalam pencetakan makanan karena sifatnya yang mudah dibentuk dan kemampuannya untuk menciptakan struktur yang menarik.
Ulasan ini bertujuan untuk mengkategorikan berbagai teknik pencetakan makanan 3D, serta membahas faktor-faktor penting seperti cetakability, produktivitas, dan sifat-sifat material yang dapat dicetak. Selain itu, mekanisme dari masing-masing teknik pencetakan juga dibahas untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang cara kerja teknologi ini. Pemahaman tentang cetakability sangat penting, karena tidak semua bahan makanan dapat dicetak dengan baik, yang dapat mempengaruhi hasil akhir produk.
Salah satu keuntungan utama dari 3D food printing adalah kemampuannya untuk menghasilkan bentuk dan tekstur yang tidak dapat dicapai dengan metode tradisional. Hal ini memberikan kesempatan bagi chef dan produsen makanan untuk berinovasi dalam menciptakan produk yang menarik secara visual dan menarik perhatian konsumen. Misalnya, pencetakan makanan dapat digunakan untuk membuat makanan dengan bentuk yang rumit atau makanan yang diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan diet khusus.
Namun, ada tantangan yang perlu diatasi dalam penerapan teknologi ini di industri pangan. Di antaranya adalah memastikan keamanan dan kualitas bahan makanan yang digunakan, serta mengembangkan standar untuk proses pencetakan yang dapat diandalkan. Selain itu, perlu juga penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi berbagai jenis bahan makanan yang dapat digunakan dalam pencetakan 3D, termasuk bahan nabati dan alternatif lainnya.
Melihat masa depan, arah pengembangan teknologi pencetakan makanan 3D tampaknya sangat cerah. Dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan keberlanjutan, pencetakan makanan 3D dapat menawarkan solusi untuk menciptakan makanan yang lebih sehat dan ramah lingkungan. Misalnya, pencetakan dapat digunakan untuk mengembangkan produk yang mengandung lebih sedikit gula atau lemak, sambil tetap mempertahankan rasa dan tekstur yang diinginkan.
Sebagai seorang dosen di bidang Teknologi Pangan, penting untuk mendorong penelitian dan inovasi di bidang ini. Teknologi 3D food printing tidak hanya memiliki potensi untuk mengubah cara kita memproduksi dan mengkonsumsi makanan, tetapi juga dapat berkontribusi pada pengembangan industri pangan yang lebih berkelanjutan dan efisien. Dengan penelitian lebih lanjut dan kolaborasi antara ilmuwan, koki, dan produsen, kita dapat mengeksplorasi potensi penuh dari teknologi ini dan menciptakan masa depan kuliner yang menarik.