Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Vitamin E dikenal sebagai senyawa larut lemak yang memiliki aktivitas antioksidan dan antikanker yang sangat kuat. Senyawa ini terdiri dari delapan isoform, yaitu α-, β-, γ-, δ-tokoferol dan α-, β-, γ-, δ-tokotrienol, yang berperan penting dalam berbagai aplikasi seperti pangan, kosmetik, hingga obat-obatan. Permintaan yang tinggi akan vitamin E di pasar global menimbulkan tantangan besar dalam produksinya, terutama terkait keberlanjutan dan dampak lingkungan. Saat ini, 80% vitamin E dihasilkan melalui sintesis kimia, namun proses ini memanfaatkan katalis beracun yang kurang ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Ini membuka jalan bagi eksplorasi metode produksi yang lebih hijau dan efisien.
Penggunaan mikroorganisme sebagai alat biosintesis vitamin E telah menjadi strategi yang menjanjikan. Dengan adanya kemajuan dalam biologi sintetik dan rekayasa metabolik, mikroorganisme seperti Escherichia coli dan Saccharomyces cerevisiae kini dapat dimodifikasi untuk memproduksi senyawa alami, termasuk vitamin E. Jalur metabolik alami untuk sintesis vitamin E telah ditemukan dalam beberapa dekade terakhir, sehingga memungkinkan modifikasi mikroorganisme untuk menghasilkan vitamin ini. Misalnya, isoform vitamin E, δ-tokotrienol, berhasil disintesis secara de novo dalam E. coli dan S. cerevisiae dengan hasil produksi yang cukup menjanjikan.
Dalam proses biosintesis ini, pengoptimalan jalur alami untuk menghasilkan prekursor penting seperti homogentisat dan geranilgeranil difosfat menjadi perhatian utama. Jalur shikimat, jalur 2-C-metil-d-eritritol-4-fosfat (MEP), serta jalur asam mevalonat (MVA) di mikroorganisme model telah diidentifikasi dan ditingkatkan melalui rekayasa metabolik. Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan produksi prekursor yang nantinya akan diubah menjadi vitamin E. Penelitian ini memberikan dasar yang kuat untuk memahami bagaimana biosintesis vitamin E dapat ditingkatkan melalui mikroorganisme dan berpotensi menggantikan metode sintesis kimia yang tidak ramah lingkungan.
Salah satu hambatan utama dalam produksi vitamin E melalui mikroorganisme adalah aktivitas enzim kunci seperti homogentisat fitil transferase (HPT) dan tokopherol/tokotrienol siklase (TC). Efisiensi enzim ini membatasi tingkat konversi prekursor menjadi produk akhir, yakni vitamin E. Oleh karena itu, langkah ke depan dalam pengembangan teknologi ini adalah meningkatkan aktivitas enzim-enzim kunci tersebut melalui teknik rekayasa enzim dan bioteknologi.
Masa depan biosintesis vitamin E melalui mikroorganisme sangat cerah. Kombinasi antara jalur alami biosintesis dengan teknologi seperti rekayasa genetika, rekayasa metabolik, dan biologi sintetik memberikan peluang besar untuk memproduksi vitamin E dengan cara yang lebih ramah lingkungan, ekonomis, dan mudah diskalakan. Selain itu, modifikasi gen dan enzim dari berbagai spesies perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi produksi serta menargetkan produksi isoform vitamin E yang spesifik.
Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dalam industri pangan dan farmasi, inovasi dalam biosintesis vitamin E ini memberikan solusi jangka panjang yang ramah lingkungan. Tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang, tetapi juga mendukung produksi pangan yang lebih sehat dan aman bagi konsumen.