Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama)
Dalam upaya menghadapi tantangan perubahan iklim dan dampak lingkungan dari produksi pangan, pemilihan bahan baku yang ramah lingkungan menjadi semakin penting. Salah satu makanan yang memiliki dampak lingkungan tinggi adalah mentega, yang berasal dari susu hewan. Sebagai alternatif, margarin dikenal sebagai produk yang lebih ramah lingkungan, terutama jika terbuat dari minyak nabati terhidrogenasi. Namun, penggunaan lemak trans yang dihasilkan dari hidrogenasi dapat menimbulkan risiko kesehatan, yang mendorong pencarian bahan baru untuk menggantikan lipid nabati dan hewani.
Sebuah studi baru-baru ini mengeksplorasi potensi lipid yang berasal dari biomassa serangga, khususnya dari dua spesies: Hermetia illucens (lalat hitam) dan Tenebrio molitor (kumbang tepung). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sifat pengolahan, dampak lingkungan, dan desain produk dari lipid serangga yang dapat diterapkan sebagai alternatif dalam produk yang dapat dioles, seperti margarin atau mentega. Hasil dari percobaan pemrosesan skala pilot menunjukkan bahwa teknologi klasik margarin dapat diterapkan untuk penggunaan lipid serangga dalam produk dengan kandungan lemak tinggi (lebih dari 80%).
Menariknya, studi ini menemukan bahwa penggantian hingga 75% lipid dalam margarin dengan lemak serangga tidak berdampak negatif pada kemampuan untuk dioleskan dan bahkan meningkatkan warna produk menjadi kuning. Hal ini menunjukkan bahwa lemak serangga tidak hanya dapat berfungsi sebagai pengganti yang efektif tetapi juga dapat meningkatkan atribut visual produk. Substitusi hingga 50% lipid nabati dengan minyak serangga menunjukkan peningkatan dampak lingkungan yang tidak signifikan pada margarin, yang menunjukkan bahwa produk ini dapat menjadi alternatif yang berkelanjutan tanpa meningkatkan beban lingkungan secara drastis.
Meskipun substitusi 75% lipid menghasilkan produk dengan dampak lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan margarin konvensional, produk tersebut masih memiliki dampak yang lebih rendah dibandingkan dengan mentega. Ini menunjukkan bahwa penggunaan lipid serangga sebagai alternatif dalam produk olesan dapat memberikan jalan tengah yang menarik antara keberlanjutan dan kualitas produk. Dengan kata lain, margarin berbasis serangga tidak hanya memberikan alternatif bagi konsumen yang peduli akan kesehatan tetapi juga bagi mereka yang memperhatikan dampak lingkungan dari pilihan pangan mereka.
Dari sudut pandang desain produk, margarin berbasis serangga membuka banyak kemungkinan untuk pengembangan lebih lanjut. Peneliti dan produsen diharapkan dapat mengeksplorasi berbagai formulasi dan teknik pemrosesan untuk memaksimalkan manfaat lipid serangga, baik dari segi rasa, tekstur, maupun penampilan. Inovasi dalam produk ini bisa menjadi kunci untuk menarik perhatian konsumen yang semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan.
Kendati demikian, tantangan tetap ada. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi preferensi konsumen terhadap margarin berbasis lipid serangga dan untuk memahami potensi dampak kesehatan jangka panjang dari konsumsi produk ini. Selain itu, aspek regulasi dan penerimaan masyarakat terhadap penggunaan serangga sebagai bahan pangan juga perlu ditangani untuk memastikan keberhasilan komersialisasi produk ini.
Secara keseluruhan, penggunaan lipid yang berasal dari biomassa serangga sebagai bahan baku dalam produk olesan seperti margarin adalah langkah inovatif yang patut dipertimbangkan. Dengan manfaat yang jelas dalam hal keberlanjutan dan kualitas produk, serta potensi untuk memenuhi permintaan konsumen yang semakin tinggi akan makanan yang lebih ramah lingkungan, margarin berbasis lipid serangga dapat menjadi alternatif yang menarik di pasar makanan masa depan.