Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Dalam upaya melawan krisis iklim global, banyak negara berlomba-lomba menerapkan berbagai strategi untuk menurunkan emisi karbon. Mulai dari memperluas pemanfaatan energi terbarukan hingga menerapkan pajak karbon sebagai bentuk tekanan fiskal terhadap aktivitas berbasis bahan bakar fosil. Namun, seberapa efektif strategi-strategi ini dalam praktiknya? Sebuah studi global terbaru mencoba memberikan jawaban dengan menganalisis data dari 47 negara selama periode 2010 hingga 2020, menggunakan metode data panel untuk melihat keterkaitan antara penggunaan energi terbarukan (angin, surya, dan hidro), keberadaan pajak karbon, dan pertumbuhan ekonomi terhadap emisi karbon.
Hasil penelitian ini memberikan gambaran yang sangat menarik. Energi angin dan surya terbukti menjadi dua faktor yang secara konsisten dan signifikan mampu menekan emisi karbon suatu negara, baik dari sisi kapasitas terpasang maupun dari sisi produksi listrik yang dihasilkan. Hal ini menegaskan bahwa investasi dalam pembangkit listrik tenaga surya dan angin bukan sekadar simbol komitmen terhadap lingkungan, melainkan intervensi nyata yang berdampak langsung terhadap pengurangan emisi.
Namun, hasil yang berbeda ditemukan pada energi hidro. Meskipun kapasitas terpasang dari pembangkit listrik tenaga air menunjukkan pengaruh terhadap penurunan emisi, tetapi jumlah listrik yang dihasilkan justru tidak memberikan efek yang signifikan. Fenomena ini bisa disebabkan oleh variabilitas kondisi iklim yang mempengaruhi debit air, efisiensi teknologi yang digunakan, serta isu lingkungan dan sosial yang sering menyertai proyek-proyek besar PLTA.
Yang lebih mengejutkan, keberadaan pajak karbon—yang selama ini dianggap sebagai senjata utama dalam perang melawan polusi—ternyata tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penurunan emisi karbon. Ini bisa jadi mencerminkan lemahnya desain kebijakan, kurangnya pengawasan, atau fakta bahwa perusahaan besar lebih memilih membayar pajak daripada beralih ke energi bersih. Dengan kata lain, tanpa integrasi teknologi energi bersih dan komitmen kuat dari sektor industri, pajak karbon hanya menjadi biaya tambahan, bukan solusi jangka panjang.
Studi ini juga menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi (GDP) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat emisi karbon. Ini menjadi catatan penting bahwa pertumbuhan ekonomi dan upaya dekarbonisasi tidak perlu diposisikan sebagai dua hal yang saling bertentangan. Selama kebijakan pertumbuhan diarahkan untuk mendukung transisi energi bersih, keduanya dapat berjalan seiring.
Bagi Indonesia, temuan studi ini membuka peluang besar sekaligus menghadirkan sejumlah tantangan yang tidak ringan. Potensi energi surya dan angin di Indonesia sangat besar, khususnya di kawasan timur Indonesia yang memiliki intensitas matahari dan kecepatan angin yang sangat menjanjikan. Program transisi energi nasional dapat diarahkan untuk memprioritaskan investasi pada dua sektor ini, baik melalui skema insentif fiskal, feed-in-tariff, maupun kemitraan publik-swasta.
Namun, tantangannya juga nyata. Infrastruktur jaringan listrik yang belum merata, tingginya biaya awal investasi, dan regulasi yang belum sepenuhnya mendukung pengembangan energi terbarukan menjadi hambatan besar. Di sisi lain, energi hidro yang selama ini menjadi andalan dalam bauran energi nasional juga perlu ditinjau kembali dari sisi efisiensi dan dampak lingkungan, terutama di kawasan yang sensitif secara ekologis.
Pajak karbon, yang belakangan mulai diperkenalkan di Indonesia, harus dirancang dengan pendekatan yang lebih strategis. Bukan hanya sekadar sebagai sumber pendapatan negara, tetapi sebagai pendorong transformasi industri menuju penggunaan energi rendah karbon. Hal ini membutuhkan sistem monitoring dan evaluasi yang kuat, serta koordinasi lintas sektor yang konsisten.
Akhirnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat harus dijadikan momentum untuk membangun sistem energi yang lebih bersih, bukan sebaliknya. Dengan arah kebijakan yang tepat, Indonesia bisa menjadi contoh negara berkembang yang sukses dalam menjalankan pertumbuhan ekonomi sekaligus menurunkan emisi secara signifikan—bukan lewat wacana, tapi lewat bukti nyata.