Mengolah Limbah Cair dari Sisa Pangan: Menyulap Masalah Menjadi Solusi Berkelanjutan

Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali Cilacap / UNUGHA Cilacap)

Dalam era di mana isu keberlanjutan menjadi perhatian utama, pengelolaan limbah makanan—terutama fraksi cair dari food waste (FW)—semakin penting untuk dikaji dan dikembangkan. Sebuah tinjauan global terbaru menunjukkan bahwa 43% riset yang ada menyoroti manajemen fraksi cair limbah makanan, dengan fokus utama pada pemulihan nutrisi, teknologi pengolahan, dan karakterisasi kimia-fisika.

China memimpin publikasi ilmiah di bidang ini, diikuti oleh Polandia dan Amerika Serikat. Sementara itu, kontribusi negara-negara berkembang seperti Indonesia masih tergolong rendah. Padahal, dengan volume limbah pangan domestik yang tinggi dan ketergantungan besar pada sektor pertanian, Indonesia sesungguhnya memiliki potensi luar biasa untuk mengembangkan pendekatan ini dalam kerangka ekonomi sirkular.

Dua teknologi utama yang saat ini digunakan untuk pemulihan nutrisi dari fraksi cair adalah produksi biofertilizer berbasis mikroalga dan teknologi membran. Keduanya menjanjikan solusi konversi limbah menjadi sumber daya bernilai tambah, seperti pupuk organik cair yang kaya akan nitrogen, fosfor, dan kalium.

Peluang Penerapan di Indonesia

Indonesia memiliki sejumlah keunggulan yang mendukung penerapan teknologi ini:

  1. Volume Limbah Makanan Tinggi
    Dengan produksi limbah makanan yang mencapai jutaan ton per tahun, potensi bahan baku untuk pengolahan digestat sangat melimpah.
  2. Tingginya Kebutuhan Pupuk Organik
    Petani lokal semakin menyadari pentingnya pupuk ramah lingkungan. Produk biofertilizer dari limbah makanan bisa menjadi alternatif yang murah, berkelanjutan, dan lebih aman bagi lingkungan.
  3. Dukungan Kebijakan Lingkungan
    Semakin banyak regulasi yang mendorong pengurangan sampah dan pengelolaan limbah berbasis ekonomi sirkular, membuka ruang bagi teknologi seperti ini untuk berkembang.
  4. Potensi Kolaborasi Multipihak
    Peluang kerja sama antara perguruan tinggi, industri makanan, sektor pertanian, dan pemerintah daerah sangat besar untuk mendukung proyek percontohan dan hilirisasi teknologi.

Tantangan yang Perlu Diatasi

Namun, di balik peluang itu, masih ada sejumlah tantangan besar:

  1. Kurangnya Infrastruktur dan Teknologi Skala Industri
    Banyak daerah di Indonesia belum memiliki sistem pengolahan limbah makanan yang terintegrasi dengan teknologi pengolahan digestat cair.
  2. Minimnya Standarisasi Produk Pupuk Cair
    Tanpa standar mutu dan keamanan, produk hasil pemulihan nutrisi sulit diterima di pasar atau digunakan oleh petani secara luas.
  3. Belum Adanya Regulasi yang Spesifik
    Regulasi terkait komersialisasi pupuk hasil daur ulang dari limbah cair masih belum jelas atau bersifat sektoral.
  4. Keterbatasan Riset Lokal dan SDM Terlatih
    Penelitian di dalam negeri tentang karakterisasi kimiawi fraksi cair digestat dan efektivitasnya sebagai pupuk masih terbatas, begitu juga dengan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi teknis di bidang ini.

Penutup

Sebagai dosen dan peneliti di bidang Teknologi Pangan, saya melihat bahwa pengelolaan fraksi cair dari limbah makanan merupakan simpul penting dalam membangun sistem pangan berkelanjutan di Indonesia. Pengembangan teknologi lokal, penguatan regulasi, serta kolaborasi lintas sektor menjadi kunci untuk menjawab tantangan sekaligus memaksimalkan peluang. Jika teknologi ini dikembangkan dengan serius, bukan tidak mungkin Indonesia dapat menjadi pionir di kawasan ASEAN dalam mengubah limbah menjadi berkah melalui pendekatan ekonomi sirkular yang berbasis teknologi pangan dan pertanian berkelanjutan.



Written by 

Teknologia managed by CV Teknologia (Teknologia Group) is a publisher of books and scientific journals with both national and international reach.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *