Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Kebutuhan energi nasional terus meningkat. Di saat yang sama, Indonesia juga menghadapi tekanan terhadap ketahanan pangan akibat degradasi lahan, perubahan iklim, dan konversi lahan pertanian. Ketika transisi menuju energi terbarukan seperti panel surya terus digalakkan, muncul kekhawatiran baru: jangan sampai kita menggantikan sawah dengan ladang surya.
Di tengah dilema itu, agrivoltaik (agrivoltaic systems/APV) hadir sebagai solusi yang menjanjikan. Konsep ini memungkinkan satu bidang lahan digunakan secara simultan untuk bertani dan menghasilkan listrik dari panel surya. Panel dipasang lebih tinggi, memungkinkan cahaya matahari masih cukup untuk tanaman, sekaligus menyuplai energi bersih.
Studi terbaru menunjukkan bahwa desain sistem APV sangat menentukan keberhasilannya. Parameter seperti tinggi panel, kepadatan penempatan panel (ground coverage ratio/GCR), dan sistem pelacakan matahari (solar tracking) mempengaruhi produktivitas tanaman dan efisiensi listrik. Misalnya, tanaman seperti jagung yang sensitif terhadap naungan ternyata lebih produktif jika panel dipasang tinggi dan GCR diturunkan. Walau sedikit menurunkan output listrik, ini justru meningkatkan nilai total lahan.
Indikator kunci yang digunakan adalah Land Equivalent Ratio (LER), yang mengukur total hasil panen dan listrik. Dalam studi tersebut, nilai LER berkisar antara 1,04 hingga 2,05. Artinya, lahan yang digunakan untuk APV justru lebih produktif daripada jika hanya ditanam atau hanya untuk pembangkit.
Peluang dan Tantangan di Indonesia
Indonesia sebagai negara agraris dan tropis memiliki potensi besar dalam pengembangan agrivoltaik. Wilayah dengan intensitas matahari tinggi dan aktivitas pertanian aktif seperti Jawa, Nusa Tenggara, atau Sulawesi, bisa menjadi pionir sistem APV. Terlebih, potensi ini sejalan dengan target bauran energi terbarukan nasional sebesar 23 persen pada 2025.
Namun, tantangannya tak kecil. Pertama, masih terbatasnya pengetahuan teknis dan literasi desain APV di kalangan pelaku energi maupun petani. Kedua, belum adanya regulasi atau insentif khusus yang mengakui agrivoltaik sebagai bentuk pemanfaatan ganda lahan. Ketiga, persepsi publik dan sektor finansial yang masih memandang APV sebagai teknologi mahal dan rumit.
Padahal, jika disusun dengan pendekatan partisipatif dan berbasis data lokal, sistem ini justru berpotensi memberdayakan petani dan komunitas energi secara bersamaan. Bayangkan jika petani bisa memanen hasil pertanian sekaligus menerima pendapatan dari listrik yang dihasilkan di lahannya—bukan saja efisiensi lahan meningkat, tapi kesejahteraan komunitas juga naik.
Menyatukan Energi dan Pangan
Agrivoltaik adalah contoh nyata bahwa transisi energi tidak harus mengorbankan sektor lain. Kita bisa merancang sistem yang bukan hanya teknis, tapi juga adil dan berkelanjutan. Tentu dibutuhkan dukungan regulasi, pembiayaan, dan edukasi agar teknologi ini tidak hanya jadi pilot project, tetapi gerakan nasional. Jika pemerintah serius ingin mencapai transisi energi yang inklusif, maka saatnya memberi ruang bagi pendekatan seperti agrivoltaik. Karena di masa depan, energi bersih dan pangan sehat tak boleh saling berebut lahan. Mereka harus tumbuh bersama.