Oleh: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman)
Di banyak pelosok dunia, jutaan orang masih hidup dalam kegelapan energi. Akses listrik yang terbatas bukan hanya soal lampu, tapi soal akses pendidikan, layanan kesehatan, produktivitas pertanian, hingga pertumbuhan ekonomi. Energi adalah fondasi pembangunan—dan bagi wilayah terpencil, harapan baru itu datang dari teknologi microgrid.
Microgrid merupakan sistem kelistrikan skala kecil yang dapat berdiri sendiri, biasanya terdiri dari kombinasi panel surya, turbin angin, baterai, dan terkadang genset. Sistem ini sangat cocok untuk daerah terpencil yang sulit dijangkau jaringan listrik konvensional. Dengan mengintegrasikan sumber energi terbarukan dan penyimpanan, microgrid mampu menyediakan pasokan listrik yang andal, bersih, dan terjangkau.
Studi terbaru yang dilakukan di Desa Dayarthi, Andhra Pradesh, India, menjadi contoh menarik. Wilayah ini memiliki kebutuhan listrik sebesar 333,53 kWh per hari, mencakup kebutuhan rumah tangga, fasilitas umum, dan kegiatan pertanian. Para peneliti membandingkan empat konfigurasi microgrid, mulai dari kombinasi solar–baterai hingga solar–angin–diesel, untuk mencari yang paling efisien dan berkelanjutan.
Hasilnya, kombinasi sistem dengan proporsi energi terbarukan tertinggi terbukti paling efisien dari segi biaya energi, jejak karbon, dan ketahanan pasokan. Lebih dari itu, pendekatan ini mempertimbangkan aspek sosial-teknis: bagaimana sistem ini dapat diterima masyarakat, dikelola secara lokal, dan benar-benar menjawab kebutuhan mereka.
Peluang dan Tantangan di Indonesia
Bagi Indonesia—negara kepulauan dengan ribuan desa di wilayah terluar dan terpencil—microgrid bukan sekadar alternatif, tetapi jawaban strategis. Potensinya sangat besar, terutama dengan melimpahnya energi surya dan angin di kawasan Indonesia timur.
Pemerintah telah meluncurkan program “Indonesia Terang”, tetapi tantangannya tidak kecil. Pertama, masih terbatasnya pendanaan dan model bisnis untuk membangun microgrid yang berkelanjutan. Kedua, belum semua sistem dirancang dengan pendekatan partisipatif dan mempertimbangkan kebutuhan komunitas secara spesifik. Ketiga, kapasitas teknis dan keberlanjutan operasional juga masih menjadi hambatan—terutama pasca-instalasi.
Namun demikian, peluangnya tetap sangat besar. Teknologi kini semakin terjangkau. Kombinasi solar panel dan baterai semakin efisien. Dan yang tak kalah penting, pendekatan hybrid—misalnya dengan tetap menggunakan genset sebagai cadangan—bisa menjadi transisi yang rasional menuju sistem energi 100 persen terbarukan.
Menyalakan Energi, Menggerakkan Keadilan
Pemerataan akses energi adalah bentuk nyata dari keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan. Microgrid dapat menjadi kunci dalam menyelesaikan “kemiskinan energi” di pelosok Nusantara, sekaligus mempercepat target bauran energi terbarukan nasional. Tapi semua ini hanya bisa terwujud jika didukung oleh kebijakan yang visioner, skema pembiayaan inklusif, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan—mulai dari pemerintah, akademisi, industri, hingga masyarakat lokal.
Energi bukan sekadar soal teknologi. Ia menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Maka, ketika kita berbicara tentang microgrid, sesungguhnya kita sedang berbicara tentang masa depan yang terang, adil, dan berkelanjutan bagi semua.
Penutup
Microgrid bukan hanya solusi teknis, melainkan juga jembatan menuju transformasi sosial. Di balik kabel dan panel surya, ada harapan baru bagi anak-anak untuk belajar di malam hari, bagi petani untuk mengolah hasil panen dengan efisien, dan bagi tenaga medis untuk memberikan layanan kesehatan dengan lebih layak. Artinya, setiap kilowatt yang dihasilkan bukan hanya angka, tetapi nyawa, masa depan, dan perubahan nyata.
Untuk memastikan keberhasilan implementasi microgrid di daerah terpencil, perlu dibangun ekosistem yang mendukung dari hulu ke hilir. Mulai dari pelatihan teknisi lokal, pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sistem, hingga penyusunan kebijakan insentif yang mendorong investasi energi terbarukan berbasis komunitas. Akademisi dan lembaga riset pun harus hadir aktif, menyediakan data, inovasi desain sistem, dan evaluasi berkelanjutan untuk memastikan microgrid tidak hanya hidup, tapi tumbuh dan beradaptasi.
Indonesia memiliki semua modal untuk menjadi pemimpin dalam penerapan microgrid berbasis komunitas di kawasan Asia Tenggara. Dengan pendekatan yang kolaboratif dan berorientasi jangka panjang, kita dapat menjadikan microgrid sebagai pilar penting dalam mewujudkan transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan listrik, tetapi untuk membangun martabat dan masa depan bangsa. Karena pada akhirnya, terang itu bukan sekadar cahaya—tetapi tentang hak yang setara untuk tumbuh, berkembang, dan bermimpi.