Oleh: Kavadya Syska, S.P., M.Si. (Dosen Bidang Teknologi Pangan – Food Technologist, Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali Cilacap / UNUGHA Cilacap)
Di tengah tren konsumen yang semakin sadar akan pentingnya pangan sehat dan minim bahan kimia, dunia pangan perlahan tapi pasti mulai beralih pada pendekatan-pendekatan alami untuk menjaga mutu dan ketahanan produk. Salah satu strategi yang kini banyak dilirik oleh para ilmuwan pangan adalah biopreservasi—sebuah pendekatan cerdas yang memanfaatkan mikroorganisme alami dan/atau metabolitnya untuk memperpanjang umur simpan produk pangan.
Dalam konteks ini, zaitun meja (table olives) menjadi salah satu model pangan fermentasi yang paling menarik. Bukan sekadar camilan Mediterania, zaitun ternyata menyimpan potensi besar sebagai arena eksperimen bioteknologi pangan. Kuncinya ada pada starter fermentasi yang digunakan, khususnya dari famili Lactobacillaceae, yang dikenal memiliki kemampuan menghasilkan bacteriocin—senyawa protein antimikroba yang mampu mengganggu membran mikroorganisme pembusuk atau patogen.
Mikroorganisme seperti Lactiplantibacillus plantarum, Lactiplantibacillus pentosus, hingga ragi seperti Saccharomyces cerevisiae dan Wickerhamomyces anomalus kini banyak digunakan sebagai kultur starter yang tak hanya menjamin keamanan produk, tetapi juga menambah nilai fungsional dan memperpanjang daya simpannya. Penggunaan kultur campuran antara bakteri dan ragi ini menciptakan sinergi alami yang memperkaya citarasa sekaligus memproteksi produk secara alami dari kontaminan berbahaya.
Tak hanya itu, kini pendekatan yang lebih mutakhir seperti teknologi nanosistem mulai diperkenalkan sebagai cara efisien untuk menginkorporasikan bakteri penghasil bacteriocin ke dalam produk pangan. Ini membuka jalan bagi sistem pengawetan pintar dan presisi tinggi, tanpa harus bergantung pada pengawet kimia atau pemanasan ekstrem.
Peluang dan Tantangan di Indonesia
Lalu, bagaimana dengan peluang penerapan biopreservasi ini di Indonesia?
Sebagai negara tropis dengan potensi kerusakan pangan tinggi, Indonesia sesungguhnya memiliki urgensi besar untuk mengadopsi pendekatan ini. Banyak produk lokal seperti tempe, tauco, tape, hingga berbagai acar sejatinya sudah memanfaatkan fermentasi tradisional—yang jika diteliti dan dioptimalkan lebih lanjut, bisa menjadi sumber kultur starter lokal yang sangat bernilai.
Peluangnya sangat besar: dari pengembangan industri makanan fungsional berbasis lokal, penciptaan starter mikroba unggul khas Indonesia, hingga penguatan ketahanan pangan nasional berbasis pendekatan alami. Namun, tantangannya juga tak kecil. Ketersediaan infrastruktur riset, regulasi terkait penggunaan mikroorganisme dalam pangan, hingga kesiapan industri UMKM dalam mengadopsi teknologi fermentasi modern masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara akademisi, pelaku industri, dan pemerintah dalam mengarusutamakan biopreservasi sebagai bagian dari strategi pangan nasional. Pengembangan pusat koleksi mikroba lokal, pelatihan bagi pelaku industri kecil, hingga insentif untuk riset aplikasi nanosistem di bidang pangan perlu segera diwujudkan. Biopreservasi bukan sekadar teknik pengawetan, tapi wujud dari pangan masa depan yang lebih sehat, berkelanjutan, dan berpihak pada alam. Dan Indonesia, dengan segala kekayaan biodiversitasnya, punya semua bahan dasar untuk jadi pemimpin di bidang ini—asal ada kemauan dan kolaborasi nyata.